Selasa, 19 Mei 2015

Pungguk Merindukan Bulan


Berkilauan. Itulah kesanku saat pertama kali bertemu denganmu. Saat itu di parkiran sekolah, aku baru saja memarkir sepeda BMX butut yang dibelikan Papa lima tahun lalu. Kau berada di antara barisan motor Ninja dan Satria F milik siswa berpunya.  Jantungku berdebar karena kau begitu cantik dan anggun, hingga aku malu menatapmu dengan mataku yang hina ini. Seseorang yang tampak posesif berdiri di dekatmu. Aku kenal dia, Yanto, anak kelas 2 IPS yang bodoh dan begajulan, namun karena bapaknya pejabat teras daerah, sekolah tetap mempertahankannya.
Yanto sedang mengobrol bersama gengnya, sesekali ia menyentuhmu, dan kulihat kaupun menyukainya. Ntah kenapa aku gemetar karena rasa cemburu. Padahal baru sekali aku melihatmu. Saat itu aku mulai penasaran dan ingin tahu lebih banyak tentangmu.
*** 
Kali kedua aku melihatmu adalah saat aku pergi belajar kelompok ke rumah Edo. Aku tidak menyangka akan berpapasan denganmu di depan pintu rumahnya. Aku menatapmu sejenak yang bergeming tidak menghiraukan keberadaanku. Dengan anggun matamu yang sejernih lampu halogen menatap lurus ke taman bunga. Aku sadar, aku hanyalah seorang anak penjual gado - gado di pasar. Apalah artinya aku dibanding  Yanto yang uang sakunya sehari setengah juta. Dia pasti bisa memenuhi kebutuhanmu yang kabarnya mahal itu.
Dengan menggeleng pelan aku melanjutkan langkahku menuju ruang tamu tempat Edo dan yang lain sudah berkumpul untuk belajar bersama. Kami belajar logaritma, judul yang baru diajarkan di sekolah tiga hari yang lalu. Bisanya ini soal kecil bagiku, namun kali ini aku sulit berkonsentrasi. Pikiranku terus-terusan melayang pada sosok aduhai di depan pintu. Iya, itu kamu.
Karena sudah tidak tahan, aku memberanikan diri bertanya tentangmu pada Yanto, yang sedari tadi cuma main PS milik Edo. Aku juga heran mengapa ia berada di sini, kami kelas IPA dan Yanto IPS, tentu ia tidak ikut belajar kelompok.
“Yang di luar itu, kecengan baru To, siapa namanya?” Tanyaku dengan nada sambil lalu, seolah aku iseng saja.
“Oh… itu Vixy, kenapa cakep yaah.” Jawab Yanto sambil matanya tidak lepas dari layar TV.
“Oh, lumayan sih. Boleh gue kenalan?” Dadaku berdegub kencang membayangkan bisa menyentuhmu dan mendengar suaramu.
“Nggak.” Degub di dadaku seketika berhenti. Dengan lesu aku membetulkan kaca mataku dan kembali ke meja belajar. Saat ini mungkin tidak bisa, tapi lain kali. Janjiku dalam hati.
*** 
Kali ketiga aku melihatmu, aku benar-benar dimabuk kepayang oleh pesonamu. Aku sudah berusaha mengalihkan pandangan darimu yang terus menempel pada Yanto di sekolah. Namun saat pulang sekolah kau muncul di pasar yang biasa aku datangi bersama Mama. Susah payah aku memutar jalan agar tidak berpapasan denganmu. Lalu keesokan harinya saat aku beli bubur di depan gang rumahku, kau juga ada di sana. Ntah bersama siapa. Namun kau berkilau seperti biasa, seolah kau memang diciptakan surga untuk merayuku, pemuda SMA yang pandai namun miskin ini.
Aku sudah tidak tahan lagi. Mataku terus-terusan melihatmu berada dimana-mana. Mengapa Tuhan begitu tega padaku memberikan cobaan seberat ini. Mengapa aku terus menatap milik orang lain yang tentu saja tidak bisa aku miliki.
Tiga hari ini aku bolos sekolah. Tidak biasanya aku begini. Namun segalanya mungkin terjadi sejak aku bertemu denganmu. Mama dan Papa berusaha membujukku akan membelikan apapun yang aku inginkan. Namun aku tidak ingin benda – benda berharga lainnya, aku cuma ingin kau. Yang menungguku di depan rumah setiap pagi dan mau menemaniku ke sekolah. Lalu sorenya saat pulang sekolah kita bisa berkeliling kota, kemanapun tempat yang kau suka. Tampaknya Mama dan Papa tidak mengerti hal ini.
*** 
Aku terbangun di kamarku yang gelap. Tubuhku berkeringat. Aku menyalakan lampu dan menatap jam dinding. Sudah pukul enam sore. Aku menatap keluar jendela, di luar sudah gelap. Aku mencondongkan tubuhku ke luar jendela untuk meraih daun jendela yang berayun keluar. Saat itulah aku melihatmu. Di bawah sana tiga meter dari tempatku berdiri di dalam kamarku di lantai dua. Kau berdiri dengan gesture khasmu di pekarangan rumah tetangga. Tidak salah lagi itu kau, dengan segala keanggunan seorang dewi, dan kilaumu yang tak pudar  meski di malam hari.
Dengan terburu-buru aku menarik daun jendela menutup, menguncinya dan berlari menuruni tangga rumah susun kami dan secepat kilat sampai di bawah. Dengan mengendap-endap aku mengintipmu melalui tembok pembatas antara rumah susun kami dan rumah tetangga.
Kau masih di sana. Terima kasih Tuhan. Aku sedang bertanya – tanya dalam benakku dengan siapa kau kemari? Apa yang kau lakukan di sini?
Mataku tak bosan-bosannya menatap tubuhmu yang berlekuk dan mulus. Bukan hanya mataku, jemarikupun tidak tahan ingin menyentuhmu. Dengan jantung berdegub aku memanjat pagar pembatas dan melompat di atas rumput tetangga yang untungnya tebal. Dengan pelan aku mendekatimu, aku takut mengejutkan pemilik rumah dan melarangku anak SMA yang tidak tau diri ini, mendekatimu yang cantik primadona semua orang.
Akhirnya aku sampai di dekatmu. Dengan gemetar kuelus kulitmu. Kau bergeming. Di waktu maghrib yang lengang dan dibawah sinar bulan yang mulai mengintip di balik awan, menyinari sebuah bandul kecil terbuat dari karet yang menghiasi tubuhmu. Setan menyusup ke dalam dadaku. Timbul niat jahatku untuk menculikmu, sebentar saja. Aku ingin menghabiskan malam ini berdua saja denganmu. Tidak akan lama, aku menatap jam tanganku, tepat jam dua belas tengah malam, aku akan mengembalikanmu seperti Cinderella.
Detik berikutnya aku sudah di tengah jalan, di antara lampu jalanan yang berkelip temaram, berdua saja denganmu. Beberapa kali kuangkat tangan kiri demi mencubit tangan kananku. Rasanya seperti mimpi, aku tidak percaya ada saat seperti dalam hidupku. Berdua saja denganmu berkeliling kota. Aku mengebut membelah jalan raya, baru kusadari bukan hanya kulitmu saja yang mulus, namun suaramu pun merdu. Mesinmu juga mulus satu tarikan saja terasa seperti terbang. Persenelingmupun halus, aku tidak perlu berkali – kali pindah gear saat jalanan sedikit macet. Segalanya sempurna tentangmu.
Saat sedang sibuk mengagumi keelokanmu, mataku menangkap garis hijau fosfor di kejauhan. Aaah… itu polisi. Sedang ada razia kah? Aku menginjak rem dalam jarak dua meter sebelum antrian motor di depanku. Ya Tuhan, remmu pun sangat mantap, dengan cakram hidrolik dua piston, hampir saja aku bersalto di udara jika tidak hati – hati. Dengan sabar aku menunggu giliran berbaris di belakang antrian motor di pinggir jalan. Aku menepuk tangkimu yang muat sebelas liter bensin, dengan sayang. Asalkan bersamamu segalanya terasa indah.
“Selamat sore, boleh lihat SIM dan STNK pak?” Seorang Polisi berjaket hijau mendekatiku.
Dengan santai aku merogoh kantongku yang … kosong! Dengan panik aku merogoh kantong celana jinsku. SIM dan STNK pasti ada di sana, di dalam dompetku. Namun mendung tiba - tiba bergelayut di kepalaku saat kutemukan kantong celanaku juga kosong. Aku bahkan tidak membawa dompet! Aku sedang menyusun dialog di benakku untuk bernegosiasi, namun Pak Polisi terlanjur melihat ekspresi panikku. Dengan tegas ia menarik lenganku dan memintaku turun dari motor. Darimu sayang … gadis impianku.
. Aku menatap jam digital di sebelah speedometermu yang berkelip sedih, mengingatkanku bahwa kau adalah Cinderella yang harus kukembalikan sebelum tengah malam tiba. Dengan berat hati aku digiring menuju kantor polisi, meninggalkanmu bersama mobil barracuda yang sangat tak layak bersanding denganmu.
Polisi segera menelepon orang tuaku setelah tahu aku masih pelajar. Aku menunggu Papa dan Mama datang dengan perasaan galau, khawatir mereka akan marah besar atas skandal yang aku perbuat ini. Akupun takut pemilikmu yang dengan sembrono meninggalkan kuncinya menempel di tangkimu, datang dan memisahkan kita. Namun apalah daya. Dia pemilikmu yang sah, dia yang memiliki STNK dan namanya tertera dalam lembar BPKB. Dan siapalah aku … pungguk merindukan bulan. Pelajar miskin yang jatuh cinta pada Honda CBR 150 R keluaran terbaru.
***

Dari Tsauban, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hampir saja para umat (yang kafir dan sesat, pen) mengerumuni kalian dari berbagai penjuru, sebagaimana mereka berkumpul menghadapi makanan dalam piring”. Kemudian seseorang bertanya,”Katakanlah wahai Rasulullah, apakah kami pada saat itu sedikit?” Rasulullah berkata,”Bahkan kalian pada saat itu banyak. Akan tetapi kalian bagai sampah yang dibawa oleh air hujan. Allah akan menghilangkan rasa takut pada hati musuh kalian dan akan menimpakan dalam hati kalian ’Wahn’. Kemudian seseorang bertanya,”Apa itu ’wahn’?” Rasulullah berkata,”Cinta dunia dan takut mati.” (HR. Abu Daud )



* Buat KIM, ayuuuk atuh nulis!

* Buat cowok - cowok di SMA. Belajar dulu woy yang pinter, ntar kalo udah kerja punya duit sendiri baru beli motor yang paling gaya!!



I'm Into You (Jatuh Cinta?)



Pertama kali kita bertemu tidak saling menatap wajah. Aku duduk di sisi tabir dan kamu di sisi lainnya. Saat itu kita belum saling mengenal. Kamu siapa, aku siapa? Saat itu benar-benar pertama kalinya. Aku cuma mendengar suaramu yang bariton menjelaskan tentang sesuatu. Aku hanya menyimak bersama teman-temanku. Hari itu berlalu begitu saja. Tidak ada kesan yang membekas kecuali suara baritonmu yang terdengar menyebalkan. 

Terus terang saja, saat itu aku tidak suka suara baritonmu yang mengintimidasi meski aku dibalik tabir. Suara yang membuatku tidak nyaman. Aku malas bertemu denganmu,  apalagi bekerja sama. Dan itu hanya karena suaramu yang bariton.

***


Sejak kecil aku kurang suka bergaul dengan laki-laki. Mereka itu kasar dan tidak peka. Aku hanya berkenalan, tapi tidak berteman. Aku lebih suka berada diantara perempuan, yang hangat dan lembut. Aku sering merasa terintimidasi jika berdekatan dengan laki-laki. Aku juga benci laki-laki yang pemarah dan tega berbuat kasar pada perempuan. Saat itu sulit bagiku untuk bersimpati pada sosok laki-laki. Semua pikiranku tentang laki-laki adalah hal yang negatif. Wajah dan tampilan boleh memesona, namun toh dalamnya sama saja. Dingin tidak berperasaan. Aku tidak pernah jatuh cinta, kecuali pada tokoh fiksi dalam buku, komik dan drama. Ayah dan Ibuku mulai khawatir. 



Tidakkah aku menyukai laki-laki?



Aku mengintip ke dalam hatiku sendiri. Apakah aku suka laki-laki? Aku terkejut, aku menyukainya. Aku masih menyukai laki-laki. Hanya saja aku belum menemukan sosok yang tepat seperti yang aku idamkan. Yang baik, lembut, dan penyayang seperti dalam drama. Ibuku berkali-kali menyadarkanku. Laki-laki dalam drama tidak ada. Tidak ada manusia yang sempurna. Aku semakin terpuruk. Lalu kepada siapakah aku harus jatuh cinta nantinya? Tidakkah aku jatuh cinta?


Selama masa remajaku yang ceria, hatiku terus tertutup untuk laki - laki. Tidak ada kesempatan bagi mereka mengetuk pintu hatiku. Meski wajahnya tampan, mulutnya manis, perilakunya sopan. Siapa yang peduli? Bukankah Kantong Semar mengeluarkan madu untuk menjebak serangga? Dan aku tidak mau jadi serangga gepeng yang patah hati dibantai laki- laki. 


***  
Suatu hari seseorang datang padaku. Lalu berlanjut pada orang tuaku. Dia berbeda. Dia baik, santun, dan tampak bisa diajak kerja sama. Aku memberinya kesempatan memasuki teras hatiku. Namun Allah belum menjodohkan kami. Dengan segera kuusir ia dari teras hatiku. Kusapu semua tentang dia hingga bersih tak bersisa.Semudah itu.

Orang bilang cinta itu datang tiba-tiba, tanpa bisa kita prediksi pada siapa ia akan berlabuh. Namun aku bersyukur pada Allah, yang memurnikan cintaku sejak muda. Cintaku bisa diajak kerja sama. Aku tahu siapa yang harus aku cintai, dan siapa yang tidak. Aku tahu pada siapa hatiku harus berlabuh. Cintaku tidak jatuh di mana saja.

***  

Sejak saat itu, hatiku kembali berpagar tinggi. Tidak ada satupun laki - laki yang menarik perhatianku, kecuali Ayah dan adik - adikku. Semua laki- laki tampak sama. 

Hingga pindah kesini, dan bertemu denganmu.



Kamis, 14 Mei 2015

Haiku

Selamat paaaaaagi!

Cuma mau bilang pagi ini berisik sekali di whatsapp, sampai hape-ku kolaps.

Beberapa grup yang biasanya sunyi, pagi ini berisik sekali.

Ada apa siih...


Anggap saja Haiku, Jakarta 15 Mei 2015

Rabu, 13 Mei 2015

Peta




Ia tidak tahu berada di mana. Ia membalik halaman buku tebal di tangannya dengan tak sabar. Namun ia masih tak tahu berada dimana. Ia merasa sudah mencatat semuanya di buku ini.
 “Aaaaaah…” Gedebuk!
Reno terbangun di lantai penginapan yang hangat. Ia mengusap dahinya yang berkeringat sambil mengumpat. Ia benci Lampung! Panas! Lebih panas dari Jakarta. Gerutunya dalam hati.
 Dengan kesal ia mendorong  jendela terbuka. Tampak jalanan Tanjung Karang yang sibuk. Dengan kesal ia memandang sekitar lalu duduk di atas tempat tidurnya.
Reno suka ketenangan, aman dan stabil. Ia benci hal-hal baru, travelling, makanan baru. Ia juga benci membaca peta. Namun pencarian ini memaksanya berjalan jauh hingga ke Tanjung Karang, sebuah kecamatan di Bandar Lampung, gerbang masuk pulau Sumatera. Dan sepanjang perjalanannya nanti ia hanya ditemani sebuah buku tebal bersampul plastik ini.
“Buku apa ini Ren, tebel banget.” Tanya kakaknya sebelum ia pergi.
“Buka aja!” Jawab Reno sambil tersenyum.
Kakak Reno melongo menatap isi buku yang berisi tulisan tangan setebal lima ratus halaman itu.
“Ini peta?” Reno mengangguk sambil terus mengepak barang.
“Tapi lo kan benci peta Ren?”
“Ya makanya gue tulis sendiri!” Tukas Reno sambil mengambil buku tebal itu dari tangan Kakaknya dan melemparkannya ke dalam tas. Peta buatannya.


Jakarta Mei 2015

Tantangan menulis flash fiction sepanjang 200 kata Komunitas Islam Menulis,
(KIM)
Twitter : @kimenulis
Instagram : kimenulis

Minggu, 03 Mei 2015

Pernak-pernik




Aku memicingkan mata memandang pernak-pernik bermandikan cahaya matahari di kejauhan. Pernak-pernik itu tampak berkilauan di atas lapangan berpasir. Berlarian kesana-kemari, terkadang menyemburkan tawa kecil yang berisik atau teriakan nyaring yang memekik. Beberapa dari pernak-pernik itu bergulingan di tanah dan berlumuran pasir, lalu bangkit kembali berlarian sambil tertawa riang. Tanpa sadar aku tertawa kecil memandang pemandangan itu. Pemandangan yang teramat lucu sekaligus menghangatkan. Pernak-pernik yang berlarian dalam balutan seragam ungu putih bernoda kecoklatan itu adalah murid-muridku tersayang.
Aku mengusap mataku yang terasa mulai panas karena terlalu lama memandang cahaya matahari. Sudah pukul dua belas, waktunya kembali masuk kelas lalu berdoa pulang. Aku beranjak menuju tempat bel berada.
“Udah waktunya bel Ustadzah.” Aku mengingatkan Ustadzah Hani yang sedang duduk tilawah di belakang mejanya. Ia hanya mengangguk dan tersenyum.
Kupencet bel tiga kali tanda masuk kelas. Kulihat Ustadzah Hani beranjak meletakkan mushafnya di atas meja dan berjalan keluar, bertepuk tangan memanggil pernak-pernik itu kembali ke kelas masing-masing.
Langkah kakiku ke kelas diikuti gemerisik suara-suara seolah-olah energi mereka tidak berkurang setelah bermain. Berdiri di depan kelas seperti biasa, menunggu muridku masuk kelas satu persatu. Seperti laser mataku berkeliling menatap koridor sekolah yang berkeramik ungu, menyortir anak-anak yang masih bergeletakan di luar kelas.
“Ayo… Mas Ahmad, masuk dulu kita berdoa.” Seruku pada anak lelaki berusia 6 tahun yang sedang sibuk bergulingan di depan kelas memegang balok kayu warna-warni. Ahmad hanya menoleh sebentar, lalu kembali mengayunkan baloknya seolah-olah itu robot mainan. Aku membiarkan Ahmad sebentar.
Mataku beralih pada dua anak perempuan yang sedang terkikik berdua, sedangkan kerudung yang sudah lecek tersampir di pundak mereka. “Mbak Zahra, Mbak Fina, ayo masuk dulu. Kita berdoa terus pulang.” Seruku sambil bertepuk tangan. Seperti Ahmad, Zahra dan Fina hanya menoleh sebentar, lalu kembali terkikik.
Dengan gemas aku melangkah mendekati mereka dan meraih kedua lengan mungil yang saling berkait itu. “Ayo masuk, nanti ustadz seret mau?” Tanyaku berpura-pura kesal.
“Mau, ayo seret aku Ustadz.” Jawab Zahra di luar dugaan, sambil memposisikan dirinya menelungkup di lantai, siap diseret.
“Aku juga.” Sahut Fina melakukan hal yang sama.
“Aku juga.”
“Aku juga.”
Tiba-tiba saja berkumpul empat orang anak semuanya menelungkup di lantai, tangan mereka menggapai ke arahku. Senyumku merekah, semakin gemas aku melihat kepolosan mereka. Beberapa ustadzah yang lewat berhenti berjalan dan menengok ke arah kami, lalu ikut tertawa kecil. Aku menyeret mereka bersamaan masuk kelas. Tawa kecil mereka berderai di sepanjang jalan, mengusir rasa penat yang menggelayutiku di tengah hari itu.
“Sudah sampai. Sekarang ayo duduk di bang…” Belum selesai aku bicara suara kecil yang nyaring menginterupsiku,
“Aku duduk sini aja..” Seru Zahra sambil menanamkan pantatnya di atas karpet ungu di dekat pintu, jauh dari bangku-bangku kecil yang berantakan di belakang sana.
“Aku juga duduk sini ya Ustadz.” Seru Ahmad berkomplot.
Seketika semua anak duduk di bawah, meninggalkan bangku mereka. Aku menghela napas, lagi-lagi Zahra memimpin komplotan. Aku mengalah, bersila di atas karpet dan mulai memimpin doa. Sebelum hari semakin siang, karena wali murid pasti sudah berkumpul di depan sekolah menunggu putra-putri tercinta  pulang sekolah.
***
Aku baru saja datang dan menaruh tas di atas meja, saat kulihat Ustadzah Naya masuk kantor menggandeng seorang anak lelaki bertubuh kurus memakai setelan berwarna oranye. Seragam sekolah lain.
“Murid baru Ustadzah?” Tanyaku sambil melambai pada si anak baru.
“Iya Ustadz. Mas Nafis ayo duduk sini sebentar ya, Ustadzah mau ke kamar mandi dulu.” Ujar Ustadzah Naya sambil menggamit ketiak Nafis dan menariknya ke arah kursi kosong di dekatku. Ustadzah Naya melirikku sebentar memberikan kode, lalu segera berlalu ke arah kamar mandi berada.
Kini aku tinggal berdua dengan Nafis, di dalam kantor yang dingin karena AC di pagi hari pukul enam. Aku melirik Nafis diam-diam. Sedari tadi matanya sibuk menatap kesana kemari seperti sinar laser. Kakinya berayun membentur kaki kursi setiap sepuluh detik, sedangkan bibirnya terus bergumam mengeluarkan dengungan yang tidak jelas. Mungkin sebuah lagu? Ia  penasaran, aku penasaran, jadi kuulurkan tangan ke arahnya.
“Namanya siapa Mas?” Tanyaku meski aku sudah dengar namanya.
“Nasif Addul K’arim.” Jawabnya agak belepotan. Ia menyalami tanganku dan menciumnya.
“Nama ustadz, Febri,” Aku memperkenalk an diriku. “Mas Nafis kesini diantar siapa?”
“Ustazah Naya.” Ia mulai mengaitkan jemarinya, tubuhnya berayun perlahan bergerak bergantian bersama ayunan kakinya. Ia butuh kesibukan, dia mungkin aktif.
Aku meraih rubik empat warna di atas mejaku dan menyerahkannya pada Nafis. Ia meraihnya dengan tangannya yang mungil dan balok-balok rubik itu segera bergeser kesana kemari berpindah warna. Aku menatap rubik itu sekilas lalu menatap wajahnya, matanya masih terus berkeliling, sambil jemarinya terus bergerak. Aku berdecak memuji Allah pelan..
“Mas Nafis sudah makan?”  Aku melanjutkan interogasiku.
“Syubah.”
“Sudah?”
“Makan apa tadi?”
“Nasi, saur asem.”
“Sayur asem, hahaha…”
Aku tertawa gemas mendengar ejaan cadelnya, lantas menowel pipinya yang tirus dan meniup poni tipis yang menutupi dahinya. Saat itulah wajahnya mendongak ke arahku dan mata kami bertemu. Selama sepersekian detik, aku pikir aku melihat sesuatu di matanya. Ada ornamen warna-warni yang berkilat dalam bola matanya, mengingatkanku akan ornament warna-warni dalam bulatan kelereng yang sering kumainkan saat aku seumuran Nafis.
Aku mulai berpikir ada yang istimewa dengan Nafis, dan berencana mengorek lebih dalam tentangnya. Namun aku mendengar langkah kaki mendekat, Ustdzah Naya sudah kembali.
“Mas Nafis sudah kenalan dengan Ustadz Febri?” Tanyanya sambil menatap kami berdua bergantian. Nafis mengangguk sekilas dan aku tersenyum sambil mengacak rambutnya.
“Ini anak antum Ustadz.” Kata Ustadzah Naya mengejutkanku.
 “Eh, apa?” Aku memandang Ustadzah Naya.
Ustadzah kepala sekolah itu hanya tersenyum sekilas lalu kembali focus pada Nafis.
“Mas Nafis ke kelas sama Ustadz Febri yaah, belajar sama teman-teman.” Katanya sambil meremas lengan Nafis lembut.
***
Begitu masuk kelas, Nafis segera bergabung dan membaur dengan murid lainnya. Aku melihat Ahmad, Zahra, Qayis, dan Rio mengerubunginya. Menanyainya tentang warna seragamnya yang baru, namanya, dan banyak pertanyaan lucu lain yang sempat membuatku tersenyum.
Tiba-tiba Zahra berlari ke arahku sambil menunjuk Nafis.
“Ustadz, kok Nafis ngomongnya suka kebalik sih?” Tanyanya sambil sesekali kembali menunjuk Nafis. Aku tersenyum.
“Kebalik gimana mbak Zahra?”
“Masa bilang baju ‘daju’.”
“Betulkan dong Mbak…” Aku menowel pipinya lembut.
“Udaah, tapi diulangi terus.”
Kami tertawa bersama lalu dengan sedikit ayunan tangan dan lagu kami duduk rapi di bangku masing-masing dan memulai doa sebelum belajar.
***
Matahari sudah setinggi tombak. Seperti biasa, aku melambai menyuruh pernak-pernikku masuk kelas lalu berdoa pulang. Setelah itu segera kebereskan berkas tugas anak-anak untuk kubawa pulang. Aku mengusap tengkukku, hari ini tidak terlalu panas. Alhamdulillah. Aku menatap lembar kerja Nafis dan sekilas kulihat tulisannya yang terbalik. Dahiku lantas mengernyit. Baru sadar, sudah sebulan sejak pertamakali Zahra bercerita tentang bicara Nafis yang terbalik. Kutemukan juga ia sering menulis terbalik saat mengoreksi lembaran kerjanya.
Nafis juga kesulitan menyebutkan warna pelangi meski melihatnya di depan mata. Ia juga kebingungan mengurutkan angka. Tapi Nafis tidak bodoh. Ia selalu aktif, ceria dan pandai bernyanyi. Terkadang saat sedang sendirian, diam-diam kuamati ia sedang bergumam tidak jelas.
Aku mempercepat beres-beresku dan segera pulang. Di rumah, aku segera menyalakan sambungan internet dan mengetik keywordBerbicara sering terbalik sindrom”, “Tidak bisa menyebutkan warna” Kudapati banyak kemungkinan sindrom, aku mengetik salah satu laman dan menemukan cirri-ciri Nafis di sana. Aku menggeleng tak percaya.
***
Keesokan harinya aku berniat memanggil orang tuanya ke sekolah. Aku menemui Ustadzah Naya dan mengkonsultasikan ini dengannya. Di jalan menuju ruangan kepala sekolah aku melihat Nafis dan Zahra duduk bersebelahan. Mereka cepat sekali akrab. Zahra terlihat memperhatikan Nafis dan menirukan apa yang diucapkannya. Aku harap Zahra tidak sedang mengejek Nafis.
Aku sampai di ruang kepala sekolah dan melihat Ustadzah Naya sedang duduk menghadap layar computer.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam… masuk Ustadz.”
“Saya sepertinya mau panggil orang tua nafis Ustadzah.”
Ustadzah Naya menoleh sebentar, “Kenapa ustadz?”
“Sepertinya… mas Nafis berkebutuhan khusus. Butuh perhatian lebih ustadzah.” Ujarku ragu-ragu.
“Maksudnya?” Ustadzah Naya sepenuhnya menghadapku.
“Sepertinya Mas Nafis disleksia.”
Ustadzah Naya menatapku, kaca matanya melorot sedikit.
“Hmm… orang tuanya agak sulit dihubungi Ustadz.” Keluh ustadzah Naya sambil melipat kedua tangannya di atas meja.
“Harus diberitahu orang tuanya Ustadzah, kalo nggak Mas nafis bisa ketinggalan banyak sama teman-temannya.”
“Orang tuanya dua-duanya pengusaha, sibuk dan jarang di rumah. Sehari-hari Nafis diasuh sama mbak pengasuhnya.”
“Biar saya home visit ke rumah Mas Nafis kalo gitu.” Tegasku. “Paling tidak saya bisa berpesan sama pengasuhnya.”
***
Saat istirahat kulihat Zahra kembali berkutat di sekitar Nafis. Kali ini ia bersama lebih banyak anak duduk mengelilingi Nafis. Aku jadi tertarik dan duduk di dekat mereka. Kudengar mereka mengikuti Nafis bersama-sama. Aku mendekatkan tempat dudukku dan menajamkan pendengaran. Lamat-lamat kudengar potongan surat An-Naba’ yang dilantunkan Zahra dan komplotannya mengikuti Nafis. Aku terkesima menatapnya. Ternyata Nafis sedang memimpin teman-temannya menghapal Juz Amma.
Seusai sekolah kuminta alamat Nafis dari bagian arsip dan berniat mengunjungi rumahnya. Seperti kata Ustadzah Naya, hanya ada para pembantu dan Mbak pengasuh yang menemani Nafis. Kuutarakan maksud kedatanganku pada Mbak Marina, pengasuhnya dan kutitip pesan padanya bahwa aku akan datang lagi menemui Ayah Bunda Nafis lain kali.
***
Bel pulang sudah berbunyi sejak tadi. Gerombolan wali murid yang menunggu di depan sekolah juga mulai menipis. Aku mengajak nafis duduk bersisian di bawah pohon di tepi lapangan, tempat anak-anak biasa bermain.
“Mas Nafis bisa baca tulisan itu nggak?” Seruku tiba-tiba sambil menunjuk plang besar di depan sekolah.
“Mmm… sulit.” Katanya setelah mendongak memandang plang itu cukup lama.
“Kenapa sulit?” Aku memeluk pundaknya. “Ayo kita baca sama-sama.”
“T…, K…, I…,” Kami mengeja bersama-sama lalu kemudian Nafis menunduk menggelengkan kepalanya.
“Kenapa Mas?” Aku mengusap rambutnya.
“Pusing.”
“Pusing kenapa?”
“Itu goyang-goyang.” Jawabnya sambil mulai menggerak-gerakkan kakinya.
“Apanya yang goyang?”
“Tulisannya goyang-goyang ga bisa dibaca.”
Aku mengangguk mengerti. Dalam artikel yang kubaca di internet juga disebutkan bahwa huruf-huruf terlihat bergerak sehingga sulit dieja bagi penderita disleksia.
Kami terdiam cukup lama menikmati semilir angin yang terkadang bertiup menyejukkan. Tiba-tiba kudengar gumaman khas itu lagi. Aku mendekatkan tubuhku pada Nafis agar mendengar lebih jelas.  Ia melirikku dan dengan sengaja mengeraskan gumamannya. Aku bisa mendengar dengan jelas dan terkejut menyadari apa yang selama ini digumamkan Nafis. Sontak aku memeluk Nafis dengan erat. Aku menangis mengingat kunjungan singkatku ke rumahnya kemarin. Mbak Marina meminta maaf bahwa Nafis agak bodoh dan sulit diajari. Aku berteriak dalam benakku. Tidak ada anak yang ‘agak bodoh’ yang bisa melafalkan ayat-ayat dari surat Ar Rahman dengan lancar dan indah seperti ini.
“Mas, besok setiap pulang sekolah duduk di sini sama ustadz ya. Kita belajar membaca, kita coba baca meskipun tulisannya goyang-goyang.” Mataku sembab tanpa terasa.
***
Aku sedang jongkok di atas karpet menatap anak-anak yang sedang menggambar sambil rebah tidak beraturan. Zahra tiba-tiba bangun mengibaskan kertasnya yang bergambar lingkaran besar sekali, lalu berjalan mendekatiku. Ada coretan krayon di pipi tembemnya.
“Ustadz, Nafis kenapa sih kok ga masuk terus?” Tanyanya sambil melanjutkan gambarnya di sampingku.
Refleks aku memandang loker nafis di seberang ruangan. Sudah tiga hari pernikku itu tidak masuk sekolah. Sopirnya yang sering mengantar meng-sms ku, katanya Nafis sakit panas.
“Mas nafis sedang sakit Mbak, didoakan ya semoga cepat sembuh.”
Aku ingat saat kami biasa duduk di bawah pohon di pinggir lapangan. Setelah berhasil menghapal huruf abjad, aku memintanya membacakan untukku ayat Qur’an yang dihapalnya.
“Yang mana?” Tanyanya sambil memandangku dengan bola mata kelerengnya.
“Yang pernah dibaca Mas Nafis di sini.”
Ia memandangku sebentar, lalu diawali dengan taawudz kalimat-kalimat Tuhan itu mengalir lancar dari bibirnya. Ayat demi ayat dilafadzkan dengan sangat jelas dan tartil. Suaranya memang tidak semerdu qari’ cilik yang terkenal itu, namun kefasihan bacaannya istimewa untuk anak seusianya. Surat Ar-Rahman selesai, lalu ia lanjut ke surat setelahnya. Aku terkesima di sampingnya.
“Siapa yang ngajari mengaji mas?” Tanyaku setelah ia menyelesaikan bacaan surat Al-Waqi’ah-nya.
Iya hanya menggeleng pelan. Membuatku semakin penasaran.
“Di masjib kan ada naji, aku deneri aja.” Mendengar jawabannya yang terbata, seperti ada air es yang menetes tepat di atas dadaku. Perasaan buncah itu tiba-tiba menggelembung memenuhi jantungku lalu dengan lembut membasahi pelupuk mataku. Sejak bertemu Nafis ntah sudah berapa kali aku menangis seperti ini.
Tepat setelah lamunanku berakhir, Ustadzah Rina, menghambur masuk ke kelas dan membisikkan kalimat dengan isyarat jemari di telinga.
“Ada telepon, dari walinya Nafis.”
Aku pamit pada anak-anak sebentar dan berlari menuju telepon di kantor guru.
***
Aku segera berlalu menuju rumah nafis setelah menerima telepon dari Ayahnya di sekolah. Seorang lelaki berpenampilan necis membukakan pintu untukku. Dengan serta merta aku dipeluknya dan diarahkannya aku menuju kamar nafis di lantai atas.
Yang pertama kali ditangkap inderaku adalah sosok Nafis di atas kasur. Tiang infus beserta kabelnya melilit di sebelahnya. Aku mengucap salam. Seorang wanita yang juga Bunda Nafis menjawab salamku. Nafis menoleh, mata kelerengnya segera menemukanku.
“Apa kabar Mas Nafis… cepat sembuh yaa. Teman-teman sudah kangen sama mas Nafis.” Aku mengusap pipinya yang makin tirus. Ia tersenyum.
“Iya Ustadz, mas Nafis rewel terus ini maemnya.” Sahut Bundanya sambil berdiri di sisi ranjang lainnya.
“Kenapa kok rewel?” Aku memandang Nafis. Ia hanya menggeleng lemah.
“Katanya mau ditemani Ustadz Febri, sekarang maem yaaa…” Seru Ayah Nafis yang berdiri di dekat pintu kamar, sambil tangannya bergerak memberikan isyarat pada pembantu untuk mengambilkan Nafis makan.
“Ayo maem, Ustadz suapi yaa.” Tambahku cepat.
Lalu adegan berikutnya adalah Ayah dan Bunda Nafis duduk di seberang ranjang menatapku menyuapi Nafis, yang akhirnya mau makan. Sekilas aku menangkap getar cemburu di wajah mereka. Mereka melewatkan momen penting dalam hidup Nafis pada orang asing sepertiku.
Setelah Nafis selesai makan dan minum obat, aku diajak Ayah dan Bunda Nafis mengobrol di ruang tamu.
“Begini Ustadz, mohon maaf terus terang saya bingung waktu Nafis menyebut-nyebut nama Ustadz Febri waktu menangis.” Aku menyimak muqoddimah Bunda Nafis. “Terus saya Tanya Mba Mar, katanya itu ustadznya Nafis yang pernah kesini. Jadi mohon maaf merepotkan saya minta datang ke rumah.”
“Nggak papa Bunda, kebetulan sekali saya pingin ketemu secara pribadi sama Ayah dan Bunda.”
“Ada apa Ustadz?”
“Begini, Mas Nafis ini ada gejala disleksia.” Aku terdiam sebentar menunggu reaksi mereka. “Disleksia itu sindrom kesulitan membaca dan mencerna perintah verbal.”
“Iya padahal sudah sering saya ajari membaca bahkan saya datangkan guru privat.” Potong Ayah Nafis defensif.
“Bukaan… disleksia bukan berarti anak malas belajar. Disleksia berhubungan dengan meneruskan kata-kata verbal pada memori pada otak. Namun anak-anak disleksia tidak bisa mencerna bahasa dan kata-kata baik secara lisan atau tulisan seperti anak non disleksia pada umumnya, sehingga sering disalah artikan sebagai malas belajar dan bodoh.” Aku menelan ludah, “Tanda-tandanya adalah kesulitan konsentrasi, tidak fokus, sulit membaca dan mengurutkan sesuatu, tidak bisa membedakan atas, bawah, kiri, kanan, sering terbalik saat berbicara.”
Aku menarik napas, sambil mengamati ekspresi wajah Ayah dan Bunda Nafis yang masih tampak belum paham.
“Jadi… harus bagaimana Ustadz?” Bunda Nafis bersuara.
“Jadi, sebaiknya mas Nafis dibawa ke psikolog dulu untuk lebih jelasnya. Lalu berikutnya peran orang tua sangat krusial di sini. Jadi tidak boleh dikatai ‘bodoh’ atau ‘malas’, didampingi terus saja belajarnya dan sering dipeluk.” Aku tersenyum mengakhiri ceramah pas pasanku.
“Mohon maaf Ustadz Febri ini sudah berkeluarga atau…” Tanya Ayah Nafis tiba-tiba.
“Mmm… belum.” Aku tersenyum malu. Aku satu-satunya pria dan berstatus single di sekolah.
***
Aku menatap Zahra, Ahmad,Nafis dan yang lainnya melingkar di koridor sekolah. Sudah lima bulan sejak aku bertemu nafis pertama kali di ruang guru, dan sudah dua bulan sejak aku datang menemui Ayah dan Bunda Nafis. Sekarang ia semakin pintar mengeja dan menyebutkan warna. Semenjak orang tuanya mulai meluangkan waktu untuk menemaninya belajar di rumah. Ia juga semakin akrab dengan teman-temannya. Kerap kali kulihat ia duduk memimpin lingkaran seperti ini, lalu menalaqqi teman-temannya hapalan juz Amma. Seperti halaqah orang dewasa saja.
Bel masuk berbunyi nyaring. Waktu istirahat berakhir ditandai dengan sempurnanya matahari di atas kepala, dan panasnya yang menyilaukan. Dengan enggan kutinggalkan pemandangan unik di depanku itu dan seperti biasa aku berteriak di pinggir lapangan. Memanggil pernak-pernakku masuk kelas.. Pernak-pernik yang tidak pernah berhenti berkilau meski tidak disinari matahari. Yang setiap butirannya unik dengan orisinalitas masing-masing. Tempaan lingkungan dan pengalaman hiduplah yang akan membentuk kepribadian mereka yang sesungguhnya nanti. Yang membuatnya semakin berkilau, atau pudar tak berharga. Aku hanya berharap para orang tua menyadari kilau pernak-pernik ini dan mengerti cara memolesnya agar semakin kinclong. Seperti beberapa manic-manikku yang sedang melingkar di sana.