“Aaah… dapet satu…
kena kau!” Dengan gemas Alin menekan ujung kuku jempolnya ke lantai, mengenai
serangga kecil yang menggeliat tak berdaya.
“Iih… kecil
banget, pantas saja gatalnya bukan main. “ Oceh Alin masih gemas. Dengan
jengkel ia terus menyisir rambutnya dengan kencang hingga menimbulkan suara
yang membuat Mama menoleh. Alin sedang duduk di lantai dengan tangan
menggenggam sisir rapat dan rambut terjulur menutupi wajahnya. Di depannya ada
kertas putih seukuran A4 yang dipenuhi
titik-titik kecil berwarna hitam belepotan.
“Kamu itu nyisir
rambut atau ngapain siih… kencang banget.”
“Iih… mama ga tau
sih gimana gatalnya kepala Alin… NAAH… DAPAT SATU LAGI!” Teriaknya tiba-tiba.Ke
sekian kalinya Alin menekan kuku jempolnya ke lantai. Mama yang sedang sibuk memisahkan biji petai
dari kulitnya hanya geleng-geleng kepala.
“Oiya… Lin, tadi
dicariin Hima lho… “ Kata Mama.
“Males ah ma…
males keluar.”
“Kamu udah
seminggu ga keluar rumah, kamu mau semedi di rumah bersama hewan peliharaanmu
itu?” Sergah Mama jengkel.
“Tau ah… Ma. Kutu
sialan!” Umpat Alin sambil beranjak ke kamar.
***
Hari ini sudah
sebulan Alin tidak mau keluar rumah selain ke sekolah dan hanya berkutat dengan
rambutnya. Tiap hari ia mengeluh sambil menyisir rambut dan menindas kutu
rambut di lantai. Sudah 5 botol peditox habis dipakai, tapi sepertinya kutu
rambut Alin betah tinggal di rambut Alin yang panjang, dan lebat. Mama menyarankan
banyak sampo dan obat-obatan alternatif
selain peditox. Namun kesabaran Alin sudah diambang putus asa. Ia
memepertimbangkan untuk mencukur habis rambutnya agar bisa terbebas selamanya
dari monster rambut ini.
Tiba-tiba Alin
keluar dari kamarnya dan mengagetkan orangtuanya di ruang keluarga.
“Ya Allah… anak
mama. Makin kaya di filem hantu aja sih.” Pekik mama melihat tampilan Alin yang
misterius dengan wajah tertutup rambut panjangnya.
“Sisiran dong nak…
masa gitu.” Papa meraih tangan Alin dan mengajaknya duduk di sampingnya. Pria
paruh baya itu menyibak rambut Alin sambil berdecak, seolah-olah melihat banyak
kutu.
“Iih papaaaaa…”
Buru-buru Alin menyingkirkan tangan papanya merapikan rambutnya yang
berantakan.
Dengan rambut
tersibak dan ekspresi yang dilebihkan, Alin menatap papa dan mamanya bergantian,
“Alin mau ke salon.”
“Iih… malu lah
Lin, kutuan begitu. Udah dibersihin dulu kutunya baru ke salon…”
“Alin mau cukur
plontos ma.”
“Apa?” Sentak Mama
dan Papa bersamaan.
“Aneh-aneh aja,
gausah.” Mama buru-buru melarang.
“Biar ilang semua
kutunya, dan ga balik lagi.”
“Masa perempuan
plontos sih… ga bagus ah dilihatnya.” Sahut Papa.
“Alin udah capek
kutuan maa..” Sentak Alin.
“Tapi tetep aja
bukan plontos caranya nak…!” Mama menghela napas kesal.
Namun Alin sudah
ngeloyor pergi, tidak membiarkan siapapun menggoyahkan keputusannya.
***
Alin menunduk
menatap gumpalan hitam yang berserakan di lantai keramik di bawah kakinya.
Mati-matian ia menahan air mata yang mulai memanasi matanya. Ia tidak boleh
menangis, ini adalah keputusannya sendiri.
Pelan-pelan ia mengangkat kepalanya dan menatap cermin. Ia mengamati
penampilan barunya yang berbeda, dan aneh.
Wajahnya jadi terlihat lebih bundar dengan kepala plontos. Pipinya
terlihat lebih chubby dan dahinya terlihat lebih lebar. Alin baru menyadari, ternyata
peran rambut sangat penting bagi wanita. Ia lambang keagungan seorang wanita. Ia
melambangkan kekuatan karakter skaligus kelembutan fisik seorang wanita.
Sekarang wajahnya kehilangan semua itu. Semuanya tampak kosong, mahkotanya
seperti terenggut. Penyesalan yang sempat pergi itu kembali merasuki dadanya,
dengan menatap rambutnya yang berserakan di bawah kakinya, ia membiarkan air
matanya jatuh. Ia tidak peduli pada mbak – mbak kapster yang menatapnya heran,
juga pengunjung salon yang duduk di sebelahnya. Ia menaruh kepalanya di atas
siku dan mengizinkan dirinya menangis sesenggukan
setelah memangkas habis rambut panjangnya. Meskipun ini pilihannya sendiri.
***
Setelah pulang
dari salon, Alin semakin jarang keluar kamar. Meskipun kini masalah kutunya
sudah selesai, ternyata tidak punya rambut adalah masalah baru. Alin jadi tidak percaya diri keluar kamar,
meski di depan keluarganya sendiri. Ia terus duduk di depan meja rias sambil
mengelus kepala plontosnya. Sesekali ia masih merasa menyesal dan sakit hati,
tapi setiap detik ia mengingatkan diri sendiri bahwa plontos lebih baik
daripada punya rambut berkutu. Ia memperhatikan pantulan wajahnya di cermin
dengan seksama. Besok hari senin, bagaimana caranya ia pergi ke sekolah dengan
kepala plontos seperti ini?
“Cklek…” Tiba-tiba
Mama masuk ke kamarnya.
“Sudah jangan
ngaca terus, nggak usah disesali. Mama bilang juga apa, cewek ga baik plontos.”
Alin memandang
mamanya dari cermin dengan cemberut. Sudah tahu ia menyesal masih saja Mama
mengomel.
“Sini mama punya
sesuatu buat kamu.” Lambai Mamanya dan menyuruhnya duduk di kasur.
Alin mendekat, ia
bisa melihat bungkusan plastic di pangkuan mamanya.
“Ini…, pake ini
besok ketika berangkat ke sekolah.” Mama menyerahkan lipatan kain berwarna
putih pada Alin.
“Ini apa Ma?”
“Itu kerudung
nak.”
Alin tercekat
memandang Mamanya.
***
Alin akhirnya
memakai kerudung ke sekolah, setelah harus diyakinkan papa dan mama
berkali-kali. Ia berjalan menuju kelas dengan tidak percaya diri. Begitu sampai
di kelas, seperti yang sudah diprediksi, semua temannya heboh melihat
penampilannya.
“Ya ampun Aliiiin…
lu tobat?” Teriak Hima sahabatnya pertama kali.
“Aliin lu kenapa,
lu botak ye?”
“Gapapa Lin, makin
cantik.”
“Ya Allah bu
hajiii…!”
Bermacam komentar
bersahutan memenuhi kelas, ada beberapa yang tersenyum dan memeluknya.
Menyelamatinya dan mendoakan agar istiqomah dengan tulus. Alin jadi malu pada
mereka yang tulus menyelamatinya. Tujuannya memakai kerudung sama sekali tidak
layak untuk diselamati. Namun diam-diam ia berterimakasih dan mengamini dalam
hati.
***
Semenjak memakai
kerudung perilaku Alin berubah. Ntah kenapa Alin juga tidak mengerti. Ia merasa
harus menyesuaikan perilakunya dengan penampilannya yang baru. Meskipun hanya
sampai rambutnya kembali tumbuh dan panjang. Sampai sekarang ia belum member
tahu teman-temannya alasannya berkerudung. Biarlah mereka kira ini hidayah, ia
juga berharap ini hidayahsesungguhnya.
Alin bukannya
tidak tahu bahwa kerudung adalah pakaian wajib seorang wanita muslimah ketika
telah baligh. Hanya saja ia masih ogah-ogahan memakainya. Terkadang ia memakai
kerudung saat ada pesantren Ramadhan di sekolahnya, atau saat mendatangi
pengajian minggu pagi di masjid lingkungan rumahnya. Ia merasa ia belum pantas
memakai kerudung dan harus berperilaku alim seperti teman-temannya yang remaja
masjid. Sekarang setelah tidak sengaja berkerudung, ia harus menyesuaikan
perilakunya yang dirasanya kurang sesuai.
Alin jadi
mengurangi tertawa keras-keras dan duduk di atas meja. Ia juga menahan diri
untuk tidak berlarian di koridor sekolah sambil menjahili teman-temannya. Jika
biasanya ia mudah sekali mengumpat saat kesal, kini Alin berusaha ingat untuk
istighfar.
Alin juga jadi
sering nongkrong di masjid. Biasanya ia malas ke masjid sekolah kecuali untuk
sholat dzuhur. Kini iseng-iseng Alin duduk-duduk di masjid, penasaran dengan
apa yang dilakukan teman-temannya yang anak masjid. Tiba-tiba saja matahari
bersinar sangat terik, Alin masuk ke dalam dan mencari tempat duduk di bawah
kipas angin. Ia bertemu Hana, teman sekelasnya. Ia sedang duduk di bawah kipas
angin membaca Qur’an.
“Hei… Hana, kamu
lagi… baca Qur’an?” Alin membungkuk untuk melihat buku yang dibaca Hana.
“Iya, eh Alin
ngapain? Habis sholat?” Hana menutup Qur’annya dan menaruhnya di tas kecil di
sampingnya. Mata Alin mengikutinya.
“Kamu bawa Qur’an
ke sekolah?” Alin tidak menjawab, malah balik bertanya sambil duduk bersila di
depan Hana.
“Iya.” Jawab Hana
sambil tersenyum manis. “Oiya, pekan depan ada kajian ahad pagi di masjid ini,
kamu datang ya.” Pinta Hana sambil menggenggam lengan Alin. Alin memandang
tangan Hana yang menggenggamnya. Ntah mengapa ada perasaan hangat yang
menyeruak di dada Alin, yang membuat Alin ingin dating ke pengajian.
“Iya, insyAllah.”
Jawab Alin sambil balas tersenyum. Setelah itu Alin hanya duduk di samping
Hana, mengobrol. Alin bertanya banyak
hal pada Hana. Teman sekelasnya yang jarang ia ajak ngobrol sebelumnya. Alin
bertanya mengenai kerudung, rohis dan mengapa Hana membawa Qur’an kemana-mana.
“Kamu nggak
gerah?” Tanya Alin setelah mendengar cerita Hana yang berkerudung sejak kecil,
dan dari ceritanya, kerudung Hana menjadi semakin lebar seiring pengetahuan
agamanya bertambah. Kini kerudung Hana menutupi bahu dan menjulur ke dada.
“Kamu?” Hana balas
bertanya.
“Gerah bangeeeet!”
Alin langsung mengibaskan kerudungnya dengan dramatis.
“Hahaha… aku juga
laah.” Hana menepuk bahu Alin otomatis. “Mmm… gini, kamu suka olah raga?” Tanya
Hana.
Alin menggeleng
kencang. Hana tertawa melihatnya.
“Nah … gimana
rasanya kalo kamu disuruh skotjam 10 kali?” Mata Alin langsung melotot.
“Pasti bakal sakit
semua tuh, ga bakal bisa jongkok sebulan.”
“Nah sama seperti
itu, segala hal yang baru yang belum pernah kita lakukan akan sangat berta saat
pertama kali dilakukan. Begitu juga dengan kerudung, kalo pertama kali pake,
pasti terasa gerah sekali.”
"Tapi aku belum alim..." Gumam Alin ragu.
"Di dunia ini siapa yang terlahir alim Alin..., kita semua terlahir tidak mengerti apa-apa. Makanya kita terus belajar sambil mempraktekannya. Emang aku sudah alim." Terang Hana diikuti tawa renyah.
"Tapi aku belum alim..." Gumam Alin ragu.
"Di dunia ini siapa yang terlahir alim Alin..., kita semua terlahir tidak mengerti apa-apa. Makanya kita terus belajar sambil mempraktekannya. Emang aku sudah alim." Terang Hana diikuti tawa renyah.
Mendengar penjelasan sederhana yang diutarakan Hana, Alin
jadi mengangguk mengerti. Memakai
kerudung dalam kehidupan sehari-hari adalah hal baru baginya, maka sudah wajar
kalau ia terus merasa gerah sepanjang hari di sekolah. Namun setelah ia
terbiasa, ia tidak akan merasa terlalu gerah lagi, sama seperti Hana. Dan bersamaan dengan itu ia harus terus belajar. Semua manusia pasti begitu. Tapi
benarkah ia akan terus memakai kerudung? Alin menunduk menatap ujung
kerudungnya, ia masih belum tahu jawabannya.
***
Seminggu berlalu
sejak obrolan Alin dengan Hana. Hari ini hari Ahad, Alin bangun pagi-pagi
sekali menyiapkan kerudung yang akan dipakainya untuk datang ke pengajian di
masjid sekolah. Ia duduk di depan meja rias dan sedang berusaha menata kerudung
di atas kepalanya. Tiba-tiba Alin berubah pikiran, ia ingin mencoba pakai
kerudung seperti Hana. Kerudung panjang yang menutupi bahu dan menjulur ke
dada. Ia mencari tutorialnya di google dan dengan bantuan Mama, Alin berhasil
memakainya.
Alin terus mematut
dirinya di depan cermin dengan kerudung model barunya. Sekarang kegiatan ini
mulai menjadi kebiasaannya setiap pagi, sejak kepalanya plontos dan pakai
kerudung. Alin jadi tersenyum sendiri mengingatnya. Kalau saja rambutnya tidak
kutuan dan ia memutuskan untuk cukur plontos, tentu saja ia tidak akan pernah
berpakaian seperti ini. Baju muslimah dan kerudung panjang.
Anggun. Bisik hati
Alin terharu sendiri.
“Kamu pantas
banget pake kerudung nak.” Sahut Papa tiba-tiba seraya menepuk bahunya.
Alin tersenyum
melalui cermin. “Makasih Pa.” Lalu
kembali menatap pantulan wajahnya sendiri.
Apakah aku akan
terus pake kerudung?
Alin mengangguk
menjawab pertanyaan dalam batinnya. Saat rambutnya berceceran di lantai sebulan
yang lalu, ia sedih sekali karena merasa identitas kewanitaannya telah hilang.
Sekarang rambutnya mulai tumbuh perlahan, namun ia memilih melindunginya dengan
kerudung. Ia merasa pantas dan percaya
diri memakainya. Ia ingin mencoba
berpakaian seperti Hana. Ia ingin mencoba menangkap hidayah yang teman-teman
pikir Alin dapat sebulan yang lalu dan yang pasti, rambutnya juga tidak akan
mudah tertular kutu. Dalam hati ia merapal basmalah, lalu melangkah menyalami
Mama dan Papanya di ruang tamu.
“Hati-hati ya nak…
“
“Iya ma…
Assalamualaikum.” Seru Alin sambil bergegas keluar rumah.
Mama dan Papa
hanya berpandangan penuh arti melihat kepergian Alin. Hari ini pasti spesial,
karena seumur hidupnya Alin jarang sekali mengucap salam.