Minggu, 22 Februari 2015

Kutu Alin








“Aaah… dapet satu… kena kau!” Dengan gemas Alin menekan ujung kuku jempolnya ke lantai, mengenai serangga kecil yang menggeliat tak berdaya.
“Iih… kecil banget, pantas saja gatalnya bukan main. “ Oceh Alin masih gemas. Dengan jengkel ia terus menyisir rambutnya dengan kencang hingga menimbulkan suara yang membuat Mama menoleh. Alin sedang duduk di lantai dengan tangan menggenggam sisir rapat dan rambut terjulur menutupi wajahnya. Di depannya ada kertas putih seukuran A4  yang dipenuhi titik-titik kecil berwarna hitam belepotan.
“Kamu itu nyisir rambut atau ngapain siih… kencang banget.”
“Iih… mama ga tau sih gimana gatalnya kepala Alin… NAAH… DAPAT SATU LAGI!” Teriaknya tiba-tiba.Ke sekian kalinya Alin menekan kuku jempolnya ke lantai.  Mama yang sedang sibuk memisahkan biji petai dari kulitnya hanya geleng-geleng kepala.
“Oiya… Lin, tadi dicariin Hima lho… “ Kata Mama.
“Males ah ma… males keluar.”
“Kamu udah seminggu ga keluar rumah, kamu mau semedi di rumah bersama hewan peliharaanmu itu?” Sergah Mama jengkel.
“Tau ah… Ma. Kutu sialan!” Umpat Alin sambil beranjak ke kamar.
***
Hari ini sudah sebulan Alin tidak mau keluar rumah selain ke sekolah dan hanya berkutat dengan rambutnya. Tiap hari ia mengeluh sambil menyisir rambut dan menindas kutu rambut di lantai. Sudah 5 botol peditox habis dipakai, tapi sepertinya kutu rambut Alin betah tinggal di rambut Alin yang panjang, dan lebat. Mama menyarankan banyak sampo dan obat-obatan alternatif  selain peditox. Namun kesabaran Alin sudah diambang putus asa. Ia memepertimbangkan untuk mencukur habis rambutnya agar bisa terbebas selamanya dari monster rambut ini.
Tiba-tiba Alin keluar dari kamarnya dan mengagetkan orangtuanya di ruang keluarga.
“Ya Allah… anak mama. Makin kaya di filem hantu aja sih.” Pekik mama melihat tampilan Alin yang misterius dengan wajah tertutup rambut panjangnya.
“Sisiran dong nak… masa gitu.” Papa meraih tangan Alin dan mengajaknya duduk di sampingnya. Pria paruh baya itu menyibak rambut Alin sambil berdecak, seolah-olah melihat banyak kutu.
“Iih papaaaaa…” Buru-buru Alin menyingkirkan tangan papanya merapikan rambutnya yang berantakan.
Dengan rambut tersibak dan ekspresi yang dilebihkan, Alin menatap papa dan mamanya bergantian, “Alin mau ke salon.”
“Iih… malu lah Lin, kutuan begitu. Udah dibersihin dulu kutunya baru ke salon…”
“Alin mau cukur plontos ma.”
“Apa?” Sentak Mama dan Papa bersamaan.
“Aneh-aneh aja, gausah.” Mama buru-buru melarang.
“Biar ilang semua kutunya, dan ga balik lagi.”
“Masa perempuan plontos sih… ga bagus ah dilihatnya.” Sahut Papa.
“Alin udah capek kutuan maa..” Sentak Alin.
“Tapi tetep aja bukan plontos caranya nak…!” Mama menghela napas kesal.
Namun Alin sudah ngeloyor pergi, tidak membiarkan siapapun menggoyahkan keputusannya.
***
Alin menunduk menatap gumpalan hitam yang berserakan di lantai keramik di bawah kakinya. Mati-matian ia menahan air mata yang mulai memanasi matanya. Ia tidak boleh menangis, ini adalah keputusannya sendiri.  Pelan-pelan ia mengangkat kepalanya dan menatap cermin. Ia mengamati penampilan barunya yang berbeda, dan aneh.  Wajahnya jadi terlihat lebih bundar dengan kepala plontos. Pipinya terlihat lebih chubby dan dahinya terlihat lebih lebar. Alin baru menyadari, ternyata peran rambut sangat penting bagi wanita.  Ia lambang keagungan seorang wanita. Ia melambangkan kekuatan karakter skaligus kelembutan fisik seorang wanita. Sekarang wajahnya kehilangan semua itu. Semuanya tampak kosong, mahkotanya seperti terenggut. Penyesalan yang sempat pergi itu kembali merasuki dadanya, dengan menatap rambutnya yang berserakan di bawah kakinya, ia membiarkan air matanya jatuh. Ia tidak peduli pada mbak – mbak kapster yang menatapnya heran, juga pengunjung salon yang duduk di sebelahnya. Ia menaruh kepalanya di atas siku dan  mengizinkan dirinya menangis sesenggukan setelah memangkas habis rambut panjangnya. Meskipun ini pilihannya sendiri.
***
Setelah pulang dari salon, Alin semakin jarang keluar kamar. Meskipun kini masalah kutunya sudah selesai, ternyata tidak punya rambut adalah masalah baru.  Alin jadi tidak percaya diri keluar kamar, meski di depan keluarganya sendiri. Ia terus duduk di depan meja rias sambil mengelus kepala plontosnya. Sesekali ia masih merasa menyesal dan sakit hati, tapi setiap detik ia mengingatkan diri sendiri bahwa plontos lebih baik daripada punya rambut berkutu. Ia memperhatikan pantulan wajahnya di cermin dengan seksama. Besok hari senin, bagaimana caranya ia pergi ke sekolah dengan kepala plontos seperti ini?
“Cklek…” Tiba-tiba Mama masuk ke kamarnya.
“Sudah jangan ngaca terus, nggak usah disesali. Mama bilang juga apa, cewek ga baik plontos.”
Alin memandang mamanya dari cermin dengan cemberut. Sudah tahu ia menyesal masih saja Mama mengomel.
“Sini mama punya sesuatu buat kamu.” Lambai Mamanya dan menyuruhnya duduk di kasur.
Alin mendekat, ia bisa melihat bungkusan plastic di pangkuan mamanya.
“Ini…, pake ini besok ketika berangkat ke sekolah.” Mama menyerahkan lipatan kain berwarna putih pada Alin.
“Ini apa Ma?”
“Itu kerudung nak.”
Alin tercekat memandang Mamanya.

***
Alin akhirnya memakai kerudung ke sekolah, setelah harus diyakinkan papa dan mama berkali-kali. Ia berjalan menuju kelas dengan tidak percaya diri. Begitu sampai di kelas, seperti yang sudah diprediksi, semua temannya heboh melihat penampilannya.
“Ya ampun Aliiiin… lu tobat?” Teriak Hima sahabatnya pertama kali.
“Aliin lu kenapa, lu botak ye?”
“Gapapa Lin, makin cantik.”
“Ya Allah bu hajiii…!”
Bermacam komentar bersahutan memenuhi kelas, ada beberapa yang tersenyum dan memeluknya. Menyelamatinya dan mendoakan agar istiqomah dengan tulus. Alin jadi malu pada mereka yang tulus menyelamatinya. Tujuannya memakai kerudung sama sekali tidak layak untuk diselamati. Namun diam-diam ia berterimakasih dan mengamini dalam hati.
***
Semenjak memakai kerudung perilaku Alin berubah. Ntah kenapa Alin juga tidak mengerti. Ia merasa harus menyesuaikan perilakunya dengan penampilannya yang baru. Meskipun hanya sampai rambutnya kembali tumbuh dan panjang. Sampai sekarang ia belum member tahu teman-temannya alasannya berkerudung. Biarlah mereka kira ini hidayah, ia juga berharap ini hidayahsesungguhnya.
Alin bukannya tidak tahu bahwa kerudung adalah pakaian wajib seorang wanita muslimah ketika telah baligh. Hanya saja ia masih ogah-ogahan memakainya. Terkadang ia memakai kerudung saat ada pesantren Ramadhan di sekolahnya, atau saat mendatangi pengajian minggu pagi di masjid lingkungan rumahnya. Ia merasa ia belum pantas memakai kerudung dan harus berperilaku alim seperti teman-temannya yang remaja masjid. Sekarang setelah tidak sengaja berkerudung, ia harus menyesuaikan perilakunya yang dirasanya kurang sesuai.
Alin jadi mengurangi tertawa keras-keras dan duduk di atas meja. Ia juga menahan diri untuk tidak berlarian di koridor sekolah sambil menjahili teman-temannya. Jika biasanya ia mudah sekali mengumpat saat kesal, kini Alin berusaha ingat untuk istighfar. 
Alin juga jadi sering nongkrong di masjid. Biasanya ia malas ke masjid sekolah kecuali untuk sholat dzuhur. Kini iseng-iseng Alin duduk-duduk di masjid, penasaran dengan apa yang dilakukan teman-temannya yang anak masjid. Tiba-tiba saja matahari bersinar sangat terik, Alin masuk ke dalam dan mencari tempat duduk di bawah kipas angin. Ia bertemu Hana, teman sekelasnya. Ia sedang duduk di bawah kipas angin membaca Qur’an.
“Hei… Hana, kamu lagi… baca Qur’an?” Alin membungkuk untuk melihat buku yang dibaca Hana.
“Iya, eh Alin ngapain? Habis sholat?” Hana menutup Qur’annya dan menaruhnya di tas kecil di sampingnya. Mata Alin mengikutinya.
“Kamu bawa Qur’an ke sekolah?” Alin tidak menjawab, malah balik bertanya sambil duduk bersila di depan Hana.
“Iya.” Jawab Hana sambil tersenyum manis. “Oiya, pekan depan ada kajian ahad pagi di masjid ini, kamu datang ya.” Pinta Hana sambil menggenggam lengan Alin. Alin memandang tangan Hana yang menggenggamnya. Ntah mengapa ada perasaan hangat yang menyeruak di dada Alin, yang membuat Alin ingin dating ke pengajian.
“Iya, insyAllah.” Jawab Alin sambil balas tersenyum. Setelah itu Alin hanya duduk di samping Hana, mengobrol.  Alin bertanya banyak hal pada Hana. Teman sekelasnya yang jarang ia ajak ngobrol sebelumnya. Alin bertanya mengenai kerudung, rohis dan mengapa Hana membawa Qur’an kemana-mana.
“Kamu nggak gerah?” Tanya Alin setelah mendengar cerita Hana yang berkerudung sejak kecil, dan dari ceritanya, kerudung Hana menjadi semakin lebar seiring pengetahuan agamanya bertambah. Kini kerudung Hana menutupi bahu dan menjulur ke dada.
“Kamu?” Hana balas bertanya.
“Gerah bangeeeet!” Alin langsung mengibaskan kerudungnya dengan dramatis.
“Hahaha… aku juga laah.” Hana menepuk bahu Alin otomatis. “Mmm… gini, kamu suka olah raga?” Tanya Hana.
Alin menggeleng kencang. Hana tertawa melihatnya.
“Nah … gimana rasanya kalo kamu disuruh skotjam 10 kali?” Mata Alin langsung melotot.
“Pasti bakal sakit semua tuh, ga bakal bisa jongkok sebulan.”
“Nah sama seperti itu, segala hal yang baru yang belum pernah kita lakukan akan sangat berta saat pertama kali dilakukan. Begitu juga dengan kerudung, kalo pertama kali pake, pasti terasa gerah sekali.”
"Tapi aku belum alim..." Gumam Alin ragu.
"Di dunia ini siapa yang terlahir alim Alin..., kita semua terlahir tidak mengerti apa-apa. Makanya kita terus belajar sambil mempraktekannya. Emang aku sudah alim." Terang Hana diikuti tawa renyah.
Mendengar  penjelasan sederhana yang diutarakan Hana, Alin jadi mengangguk mengerti.  Memakai kerudung dalam kehidupan sehari-hari adalah hal baru baginya, maka sudah wajar kalau ia terus merasa gerah sepanjang hari di sekolah. Namun setelah ia terbiasa, ia tidak akan merasa terlalu gerah lagi, sama seperti Hana. Dan bersamaan dengan itu ia harus terus belajar. Semua manusia pasti begitu. Tapi benarkah ia akan terus memakai kerudung? Alin menunduk menatap ujung kerudungnya, ia masih belum tahu jawabannya.
***
Seminggu berlalu sejak obrolan Alin dengan Hana. Hari ini hari Ahad, Alin bangun pagi-pagi sekali menyiapkan kerudung yang akan dipakainya untuk datang ke pengajian di masjid sekolah. Ia duduk di depan meja rias dan sedang berusaha menata kerudung di atas kepalanya. Tiba-tiba Alin berubah pikiran, ia ingin mencoba pakai kerudung seperti Hana. Kerudung panjang yang menutupi bahu dan menjulur ke dada. Ia mencari tutorialnya di google dan dengan bantuan Mama, Alin berhasil memakainya.
Alin terus mematut dirinya di depan cermin dengan kerudung model barunya. Sekarang kegiatan ini mulai menjadi kebiasaannya setiap pagi, sejak kepalanya plontos dan pakai kerudung. Alin jadi tersenyum sendiri mengingatnya. Kalau saja rambutnya tidak kutuan dan ia memutuskan untuk cukur plontos, tentu saja ia tidak akan pernah berpakaian seperti ini. Baju muslimah dan kerudung panjang.
Anggun. Bisik hati Alin terharu sendiri. 
“Kamu pantas banget pake kerudung nak.” Sahut Papa tiba-tiba seraya menepuk bahunya.
Alin tersenyum melalui cermin. “Makasih Pa.”  Lalu kembali menatap pantulan wajahnya sendiri.
Apakah aku akan terus pake kerudung?
Alin mengangguk menjawab pertanyaan dalam batinnya. Saat rambutnya berceceran di lantai sebulan yang lalu, ia sedih sekali karena merasa identitas kewanitaannya telah hilang. Sekarang rambutnya mulai tumbuh perlahan, namun ia memilih melindunginya dengan kerudung.  Ia merasa pantas dan percaya diri memakainya.  Ia ingin mencoba berpakaian seperti Hana. Ia ingin mencoba menangkap hidayah yang teman-teman pikir Alin dapat sebulan yang lalu dan yang pasti, rambutnya juga tidak akan mudah tertular kutu. Dalam hati ia merapal basmalah, lalu melangkah menyalami Mama dan Papanya di ruang tamu.
“Hati-hati ya nak… “
“Iya ma… Assalamualaikum.” Seru Alin sambil bergegas keluar rumah.
Mama dan Papa hanya berpandangan penuh arti melihat kepergian Alin. Hari ini pasti spesial, karena seumur hidupnya Alin jarang sekali mengucap salam.