I love you...
Minggu, 25 Oktober 2015
Selasa, 19 Mei 2015
Pungguk Merindukan Bulan
Berkilauan.
Itulah kesanku saat pertama kali bertemu denganmu. Saat itu di parkiran
sekolah, aku baru saja memarkir sepeda BMX butut yang dibelikan Papa lima tahun
lalu. Kau berada di antara barisan motor Ninja dan Satria F milik siswa
berpunya. Jantungku berdebar karena kau
begitu cantik dan anggun, hingga aku malu menatapmu dengan mataku yang hina
ini. Seseorang yang tampak posesif berdiri di dekatmu. Aku kenal dia, Yanto, anak
kelas 2 IPS yang bodoh dan begajulan, namun karena bapaknya pejabat teras
daerah, sekolah tetap mempertahankannya.
Yanto
sedang mengobrol bersama gengnya, sesekali ia menyentuhmu, dan kulihat kaupun
menyukainya. Ntah kenapa aku gemetar karena rasa cemburu. Padahal baru sekali aku
melihatmu. Saat itu aku mulai penasaran dan ingin tahu lebih banyak tentangmu.
***
Kali
kedua aku melihatmu adalah saat aku pergi belajar kelompok ke rumah Edo. Aku
tidak menyangka akan berpapasan denganmu di depan pintu rumahnya. Aku menatapmu
sejenak yang bergeming tidak menghiraukan keberadaanku. Dengan anggun matamu
yang sejernih lampu halogen menatap lurus ke taman bunga. Aku sadar, aku hanyalah
seorang anak penjual gado - gado di pasar. Apalah artinya aku dibanding Yanto yang uang sakunya sehari setengah juta.
Dia pasti bisa memenuhi kebutuhanmu yang kabarnya mahal itu.
Dengan
menggeleng pelan aku melanjutkan langkahku menuju ruang tamu tempat Edo dan
yang lain sudah berkumpul untuk belajar bersama. Kami belajar logaritma, judul
yang baru diajarkan di sekolah tiga hari yang lalu. Bisanya ini soal kecil
bagiku, namun kali ini aku sulit berkonsentrasi. Pikiranku terus-terusan melayang
pada sosok aduhai di depan pintu. Iya, itu kamu.
Karena
sudah tidak tahan, aku memberanikan diri bertanya tentangmu pada Yanto, yang
sedari tadi cuma main PS milik Edo. Aku juga heran mengapa ia berada di sini,
kami kelas IPA dan Yanto IPS, tentu ia tidak ikut belajar kelompok.
“Yang
di luar itu, kecengan baru To, siapa namanya?” Tanyaku dengan nada sambil lalu,
seolah aku iseng saja.
“Oh…
itu Vixy, kenapa cakep yaah.” Jawab Yanto sambil matanya tidak lepas dari layar
TV.
“Oh,
lumayan sih. Boleh gue kenalan?” Dadaku berdegub kencang membayangkan bisa
menyentuhmu dan mendengar suaramu.
“Nggak.”
Degub di dadaku seketika berhenti. Dengan lesu aku membetulkan kaca mataku dan
kembali ke meja belajar. Saat ini mungkin tidak bisa, tapi lain kali. Janjiku
dalam hati.
***
Kali
ketiga aku melihatmu, aku benar-benar dimabuk kepayang oleh pesonamu. Aku sudah
berusaha mengalihkan pandangan darimu yang terus menempel pada Yanto di sekolah.
Namun saat pulang sekolah kau muncul di pasar yang biasa aku datangi bersama
Mama. Susah payah aku memutar jalan agar tidak berpapasan denganmu. Lalu
keesokan harinya saat aku beli bubur di depan gang rumahku, kau juga ada di
sana. Ntah bersama siapa. Namun kau berkilau seperti biasa, seolah kau memang
diciptakan surga untuk merayuku, pemuda SMA yang pandai namun miskin ini.
Aku
sudah tidak tahan lagi. Mataku terus-terusan melihatmu berada dimana-mana.
Mengapa Tuhan begitu tega padaku memberikan cobaan seberat ini. Mengapa aku
terus menatap milik orang lain yang tentu saja tidak bisa aku miliki.
Tiga
hari ini aku bolos sekolah. Tidak biasanya aku begini. Namun segalanya mungkin
terjadi sejak aku bertemu denganmu. Mama dan Papa berusaha membujukku akan
membelikan apapun yang aku inginkan. Namun aku tidak ingin benda – benda berharga
lainnya, aku cuma ingin kau. Yang menungguku di depan rumah setiap pagi dan mau
menemaniku ke sekolah. Lalu sorenya saat pulang sekolah kita bisa berkeliling
kota, kemanapun tempat yang kau suka. Tampaknya Mama dan Papa tidak mengerti
hal ini.
***
Aku
terbangun di kamarku yang gelap. Tubuhku berkeringat. Aku menyalakan lampu dan
menatap jam dinding. Sudah pukul enam sore. Aku menatap keluar jendela, di luar
sudah gelap. Aku mencondongkan tubuhku ke luar jendela untuk meraih daun
jendela yang berayun keluar. Saat itulah aku melihatmu. Di bawah sana tiga
meter dari tempatku berdiri di dalam kamarku di lantai dua. Kau berdiri dengan gesture
khasmu di pekarangan rumah tetangga. Tidak salah lagi itu kau, dengan segala
keanggunan seorang dewi, dan kilaumu yang tak pudar meski di malam hari.
Dengan
terburu-buru aku menarik daun jendela menutup, menguncinya dan berlari menuruni
tangga rumah susun kami dan secepat kilat sampai di bawah. Dengan
mengendap-endap aku mengintipmu melalui tembok pembatas antara rumah susun kami
dan rumah tetangga.
Kau
masih di sana. Terima kasih Tuhan. Aku sedang bertanya – tanya dalam benakku
dengan siapa kau kemari? Apa yang kau lakukan di sini?
Mataku
tak bosan-bosannya menatap tubuhmu yang berlekuk dan mulus. Bukan hanya mataku,
jemarikupun tidak tahan ingin menyentuhmu. Dengan jantung berdegub aku memanjat
pagar pembatas dan melompat di atas rumput tetangga yang untungnya tebal.
Dengan pelan aku mendekatimu, aku takut mengejutkan pemilik rumah dan
melarangku anak SMA yang tidak tau diri ini, mendekatimu yang cantik primadona
semua orang.
Akhirnya
aku sampai di dekatmu. Dengan gemetar kuelus kulitmu. Kau bergeming. Di waktu
maghrib yang lengang dan dibawah sinar bulan yang mulai mengintip di balik awan,
menyinari sebuah bandul kecil terbuat dari karet yang menghiasi tubuhmu. Setan
menyusup ke dalam dadaku. Timbul niat jahatku untuk menculikmu, sebentar saja.
Aku ingin menghabiskan malam ini berdua saja denganmu. Tidak akan lama, aku
menatap jam tanganku, tepat jam dua belas tengah malam, aku akan
mengembalikanmu seperti Cinderella.
Detik
berikutnya aku sudah di tengah jalan, di antara lampu jalanan yang berkelip
temaram, berdua saja denganmu. Beberapa kali kuangkat tangan kiri demi mencubit
tangan kananku. Rasanya seperti mimpi, aku tidak percaya ada saat seperti dalam
hidupku. Berdua saja denganmu berkeliling kota. Aku mengebut membelah jalan
raya, baru kusadari bukan hanya kulitmu saja yang mulus, namun suaramu pun
merdu. Mesinmu juga mulus satu tarikan saja terasa seperti terbang. Persenelingmupun
halus, aku tidak perlu berkali – kali pindah gear saat jalanan sedikit macet. Segalanya sempurna tentangmu.
Saat
sedang sibuk mengagumi keelokanmu, mataku menangkap garis hijau fosfor di
kejauhan. Aaah… itu polisi. Sedang ada razia kah? Aku menginjak rem dalam jarak
dua meter sebelum antrian motor di depanku. Ya Tuhan, remmu pun sangat mantap,
dengan cakram hidrolik dua piston, hampir saja aku bersalto di udara jika tidak
hati – hati. Dengan sabar aku menunggu giliran berbaris di belakang antrian
motor di pinggir jalan. Aku menepuk tangkimu yang muat sebelas liter bensin,
dengan sayang. Asalkan bersamamu segalanya terasa indah.
“Selamat
sore, boleh lihat SIM dan STNK pak?” Seorang Polisi berjaket hijau mendekatiku.
Dengan
santai aku merogoh kantongku yang … kosong! Dengan panik aku merogoh kantong
celana jinsku. SIM dan STNK pasti ada di sana, di dalam dompetku. Namun mendung
tiba - tiba bergelayut di kepalaku saat kutemukan kantong celanaku juga kosong.
Aku bahkan tidak membawa dompet! Aku sedang menyusun dialog di benakku untuk
bernegosiasi, namun Pak Polisi terlanjur melihat ekspresi panikku. Dengan tegas
ia menarik lenganku dan memintaku turun dari motor. Darimu sayang … gadis
impianku.
.
Aku menatap jam digital di sebelah speedometermu yang berkelip sedih, mengingatkanku
bahwa kau adalah Cinderella yang harus kukembalikan sebelum tengah malam tiba.
Dengan berat hati aku digiring menuju kantor polisi, meninggalkanmu bersama
mobil barracuda yang sangat tak layak bersanding denganmu.
Polisi
segera menelepon orang tuaku setelah tahu aku masih pelajar. Aku menunggu Papa
dan Mama datang dengan perasaan galau, khawatir mereka akan marah besar atas
skandal yang aku perbuat ini. Akupun takut pemilikmu yang dengan sembrono
meninggalkan kuncinya menempel di tangkimu, datang dan memisahkan kita. Namun
apalah daya. Dia pemilikmu yang sah, dia yang memiliki STNK dan namanya tertera
dalam lembar BPKB. Dan siapalah aku … pungguk merindukan bulan. Pelajar miskin
yang jatuh cinta pada Honda CBR 150 R keluaran terbaru.
***
Dari Tsauban, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Hampir saja para umat (yang kafir dan sesat, pen)
mengerumuni kalian dari berbagai penjuru, sebagaimana mereka berkumpul
menghadapi makanan dalam piring”. Kemudian seseorang bertanya,”Katakanlah wahai
Rasulullah, apakah kami pada saat itu sedikit?” Rasulullah berkata,”Bahkan
kalian pada saat itu banyak. Akan tetapi kalian bagai sampah yang dibawa oleh
air hujan. Allah akan menghilangkan rasa takut pada hati musuh kalian dan akan
menimpakan dalam hati kalian ’Wahn’. Kemudian seseorang bertanya,”Apa itu ’wahn’?”
Rasulullah berkata,”Cinta dunia dan takut mati.” (HR.
Abu Daud )
* Buat KIM, ayuuuk atuh nulis!
* Buat cowok - cowok di SMA. Belajar dulu woy yang pinter, ntar kalo udah kerja punya duit sendiri baru beli motor yang paling gaya!!
I'm Into You (Jatuh Cinta?)
Pertama kali kita bertemu tidak saling menatap wajah. Aku duduk di sisi tabir dan kamu di sisi lainnya. Saat itu kita belum saling mengenal. Kamu siapa, aku siapa? Saat itu benar-benar pertama kalinya. Aku cuma mendengar suaramu yang bariton menjelaskan tentang sesuatu. Aku hanya menyimak bersama teman-temanku. Hari itu berlalu begitu saja. Tidak ada kesan yang membekas kecuali suara baritonmu yang terdengar menyebalkan.
Terus terang saja, saat itu aku tidak suka suara baritonmu yang mengintimidasi meski aku dibalik tabir. Suara yang membuatku tidak nyaman. Aku malas bertemu denganmu, apalagi bekerja sama. Dan itu hanya karena suaramu yang bariton.
***
Sejak kecil aku kurang suka bergaul dengan laki-laki. Mereka itu kasar dan tidak peka. Aku hanya berkenalan, tapi tidak berteman. Aku lebih suka berada diantara perempuan, yang hangat dan lembut. Aku sering merasa terintimidasi jika berdekatan dengan laki-laki. Aku juga benci laki-laki yang pemarah dan tega berbuat kasar pada perempuan. Saat itu sulit bagiku untuk bersimpati pada sosok laki-laki. Semua pikiranku tentang laki-laki adalah hal yang negatif. Wajah dan tampilan boleh memesona, namun toh dalamnya sama saja. Dingin tidak berperasaan. Aku tidak pernah jatuh cinta, kecuali pada tokoh fiksi dalam buku, komik dan drama. Ayah dan Ibuku mulai khawatir.
Tidakkah aku menyukai laki-laki?
Aku mengintip ke dalam hatiku sendiri. Apakah aku suka laki-laki? Aku terkejut, aku menyukainya. Aku masih menyukai laki-laki. Hanya saja aku belum menemukan sosok yang tepat seperti yang aku idamkan. Yang baik, lembut, dan penyayang seperti dalam drama. Ibuku berkali-kali menyadarkanku. Laki-laki dalam drama tidak ada. Tidak ada manusia yang sempurna. Aku semakin terpuruk. Lalu kepada siapakah aku harus jatuh cinta nantinya? Tidakkah aku jatuh cinta?
Selama masa remajaku yang ceria, hatiku terus tertutup untuk laki - laki. Tidak ada kesempatan bagi mereka mengetuk pintu hatiku. Meski wajahnya tampan, mulutnya manis, perilakunya sopan. Siapa yang peduli? Bukankah Kantong Semar mengeluarkan madu untuk menjebak serangga? Dan aku tidak mau jadi serangga gepeng yang patah hati dibantai laki- laki.
***
Suatu hari seseorang datang padaku. Lalu berlanjut pada orang tuaku. Dia berbeda. Dia baik, santun, dan tampak bisa diajak kerja sama. Aku memberinya kesempatan memasuki teras hatiku. Namun Allah belum menjodohkan kami. Dengan segera kuusir ia dari teras hatiku. Kusapu semua tentang dia hingga bersih tak bersisa.Semudah itu.
Orang bilang cinta itu datang tiba-tiba, tanpa bisa kita prediksi pada siapa ia akan berlabuh. Namun aku bersyukur pada Allah, yang memurnikan cintaku sejak muda. Cintaku bisa diajak kerja sama. Aku tahu siapa yang harus aku cintai, dan siapa yang tidak. Aku tahu pada siapa hatiku harus berlabuh. Cintaku tidak jatuh di mana saja.
***
Sejak saat itu, hatiku kembali berpagar tinggi. Tidak ada satupun laki - laki yang menarik perhatianku, kecuali Ayah dan adik - adikku. Semua laki- laki tampak sama.
Hingga pindah kesini, dan bertemu denganmu.
Kamis, 14 Mei 2015
Haiku
Selamat paaaaaagi!
Cuma mau bilang pagi ini berisik sekali di whatsapp, sampai hape-ku kolaps.
Beberapa grup yang biasanya sunyi, pagi ini berisik sekali.
Ada apa siih...
Rabu, 13 Mei 2015
Peta
Ia
tidak tahu berada di mana. Ia membalik halaman buku tebal di tangannya dengan
tak sabar. Namun ia masih tak tahu berada dimana. Ia merasa sudah mencatat
semuanya di buku ini.
“Aaaaaah…” Gedebuk!
Reno
terbangun di lantai penginapan yang hangat. Ia mengusap dahinya yang
berkeringat sambil mengumpat. Ia benci Lampung! Panas! Lebih panas dari Jakarta. Gerutunya dalam hati.
Dengan kesal ia mendorong jendela terbuka. Tampak jalanan Tanjung
Karang yang sibuk. Dengan kesal ia memandang sekitar lalu duduk di atas tempat
tidurnya.
Reno
suka ketenangan, aman dan stabil. Ia benci hal-hal baru, travelling, makanan baru. Ia juga benci membaca peta. Namun
pencarian ini memaksanya berjalan jauh hingga ke Tanjung Karang, sebuah
kecamatan di Bandar Lampung, gerbang masuk pulau Sumatera. Dan sepanjang
perjalanannya nanti ia hanya ditemani sebuah buku tebal bersampul plastik ini.
“Buku
apa ini Ren, tebel banget.” Tanya kakaknya sebelum ia pergi.
“Buka
aja!” Jawab Reno sambil tersenyum.
Kakak
Reno melongo menatap isi buku yang berisi tulisan tangan setebal lima ratus
halaman itu.
“Ini
peta?” Reno mengangguk sambil terus mengepak barang.
“Tapi
lo kan benci peta Ren?”
“Ya makanya gue
tulis sendiri!” Tukas Reno sambil mengambil buku tebal itu dari tangan Kakaknya
dan melemparkannya ke dalam tas. Peta buatannya.
Jakarta Mei 2015
Tantangan menulis flash fiction sepanjang 200 kata Komunitas Islam Menulis,
(KIM)
Twitter : @kimenulis
Instagram : kimenulis
Minggu, 03 Mei 2015
Pernak-pernik
Aku
memicingkan mata memandang pernak-pernik bermandikan cahaya matahari di
kejauhan. Pernak-pernik itu tampak berkilauan di atas lapangan berpasir. Berlarian
kesana-kemari, terkadang menyemburkan tawa kecil yang berisik atau teriakan
nyaring yang memekik. Beberapa dari pernak-pernik itu bergulingan di tanah dan
berlumuran pasir, lalu bangkit kembali berlarian sambil tertawa riang. Tanpa
sadar aku tertawa kecil memandang pemandangan itu. Pemandangan yang teramat
lucu sekaligus menghangatkan. Pernak-pernik yang berlarian dalam balutan
seragam ungu putih bernoda kecoklatan itu adalah murid-muridku tersayang.
Aku
mengusap mataku yang terasa mulai panas karena terlalu lama memandang cahaya
matahari. Sudah pukul dua belas, waktunya kembali masuk kelas lalu berdoa
pulang. Aku beranjak menuju tempat bel berada.
“Udah
waktunya bel Ustadzah.” Aku mengingatkan Ustadzah Hani yang sedang duduk
tilawah di belakang mejanya. Ia hanya mengangguk dan tersenyum.
Kupencet
bel tiga kali tanda masuk kelas. Kulihat Ustadzah Hani beranjak meletakkan
mushafnya di atas meja dan berjalan keluar, bertepuk tangan memanggil
pernak-pernik itu kembali ke kelas masing-masing.
Langkah
kakiku ke kelas diikuti gemerisik suara-suara seolah-olah energi mereka tidak
berkurang setelah bermain. Berdiri di depan kelas seperti biasa, menunggu
muridku masuk kelas satu persatu. Seperti laser mataku berkeliling menatap
koridor sekolah yang berkeramik ungu, menyortir anak-anak yang masih
bergeletakan di luar kelas.
“Ayo…
Mas Ahmad, masuk dulu kita berdoa.” Seruku pada anak lelaki berusia 6 tahun
yang sedang sibuk bergulingan di depan kelas memegang balok kayu warna-warni. Ahmad
hanya menoleh sebentar, lalu kembali mengayunkan baloknya seolah-olah itu robot
mainan. Aku membiarkan Ahmad sebentar.
Mataku
beralih pada dua anak perempuan yang sedang terkikik berdua, sedangkan kerudung
yang sudah lecek tersampir di pundak mereka. “Mbak Zahra, Mbak Fina, ayo masuk
dulu. Kita berdoa terus pulang.” Seruku sambil bertepuk tangan. Seperti Ahmad,
Zahra dan Fina hanya menoleh sebentar, lalu kembali terkikik.
Dengan
gemas aku melangkah mendekati mereka dan meraih kedua lengan mungil yang saling
berkait itu. “Ayo masuk, nanti ustadz seret mau?” Tanyaku berpura-pura kesal.
“Mau,
ayo seret aku Ustadz.” Jawab Zahra di luar dugaan, sambil memposisikan dirinya
menelungkup di lantai, siap diseret.
“Aku
juga.” Sahut Fina melakukan hal yang sama.
“Aku
juga.”
“Aku
juga.”
Tiba-tiba
saja berkumpul empat orang anak semuanya menelungkup di lantai, tangan mereka
menggapai ke arahku. Senyumku merekah, semakin gemas aku melihat kepolosan
mereka. Beberapa ustadzah yang lewat berhenti berjalan dan menengok ke arah
kami, lalu ikut tertawa kecil. Aku menyeret mereka bersamaan masuk kelas. Tawa
kecil mereka berderai di sepanjang jalan, mengusir rasa penat yang
menggelayutiku di tengah hari itu.
“Sudah
sampai. Sekarang ayo duduk di bang…” Belum selesai aku bicara suara kecil yang
nyaring menginterupsiku,
“Aku
duduk sini aja..” Seru Zahra sambil menanamkan pantatnya di atas karpet ungu di
dekat pintu, jauh dari bangku-bangku kecil yang berantakan di belakang sana.
“Aku
juga duduk sini ya Ustadz.” Seru Ahmad berkomplot.
Seketika
semua anak duduk di bawah, meninggalkan bangku mereka. Aku menghela napas,
lagi-lagi Zahra memimpin komplotan. Aku mengalah, bersila di atas karpet dan
mulai memimpin doa. Sebelum hari semakin siang, karena wali murid pasti sudah
berkumpul di depan sekolah menunggu putra-putri tercinta pulang sekolah.
***
Aku
baru saja datang dan menaruh tas di atas meja, saat kulihat Ustadzah Naya masuk
kantor menggandeng seorang anak lelaki bertubuh kurus memakai setelan berwarna
oranye. Seragam sekolah lain.
“Murid
baru Ustadzah?” Tanyaku sambil melambai pada si anak baru.
“Iya
Ustadz. Mas Nafis ayo duduk sini sebentar ya, Ustadzah mau ke kamar mandi
dulu.” Ujar Ustadzah Naya sambil menggamit ketiak Nafis dan menariknya ke arah
kursi kosong di dekatku. Ustadzah Naya melirikku sebentar memberikan kode, lalu
segera berlalu ke arah kamar mandi berada.
Kini
aku tinggal berdua dengan Nafis, di dalam kantor yang dingin karena AC di pagi
hari pukul enam. Aku melirik Nafis diam-diam. Sedari tadi matanya sibuk menatap
kesana kemari seperti sinar laser. Kakinya berayun membentur kaki kursi setiap
sepuluh detik, sedangkan bibirnya terus bergumam mengeluarkan dengungan yang
tidak jelas. Mungkin sebuah lagu? Ia penasaran, aku penasaran, jadi kuulurkan
tangan ke arahnya.
“Namanya
siapa Mas?” Tanyaku meski aku sudah dengar namanya.
“Nasif
Addul K’arim.” Jawabnya agak belepotan. Ia menyalami tanganku dan menciumnya.
“Nama
ustadz, Febri,” Aku memperkenalk an diriku. “Mas Nafis kesini diantar siapa?”
“Ustazah
Naya.” Ia mulai mengaitkan jemarinya, tubuhnya berayun perlahan bergerak
bergantian bersama ayunan kakinya. Ia butuh kesibukan, dia mungkin aktif.
Aku
meraih rubik empat warna di atas mejaku dan menyerahkannya pada Nafis. Ia
meraihnya dengan tangannya yang mungil dan balok-balok rubik itu segera
bergeser kesana kemari berpindah warna. Aku menatap rubik itu sekilas lalu menatap
wajahnya, matanya masih terus berkeliling, sambil jemarinya terus bergerak. Aku
berdecak memuji Allah pelan..
“Mas
Nafis sudah makan?” Aku melanjutkan
interogasiku.
“Syubah.”
“Sudah?”
“Makan
apa tadi?”
“Nasi,
saur asem.”
“Sayur
asem, hahaha…”
Aku
tertawa gemas mendengar ejaan cadelnya, lantas menowel pipinya yang tirus dan
meniup poni tipis yang menutupi dahinya. Saat itulah wajahnya mendongak ke arahku
dan mata kami bertemu. Selama sepersekian detik, aku pikir aku melihat sesuatu
di matanya. Ada ornamen warna-warni yang berkilat dalam bola matanya,
mengingatkanku akan ornament warna-warni dalam bulatan kelereng yang sering
kumainkan saat aku seumuran Nafis.
Aku
mulai berpikir ada yang istimewa dengan Nafis, dan berencana mengorek lebih
dalam tentangnya. Namun aku mendengar langkah kaki mendekat, Ustdzah Naya sudah
kembali.
“Mas
Nafis sudah kenalan dengan Ustadz Febri?” Tanyanya sambil menatap kami berdua
bergantian. Nafis mengangguk sekilas dan aku tersenyum sambil mengacak
rambutnya.
“Ini
anak antum Ustadz.” Kata Ustadzah Naya mengejutkanku.
“Eh, apa?” Aku memandang Ustadzah Naya.
Ustadzah
kepala sekolah itu hanya tersenyum sekilas lalu kembali focus pada Nafis.
“Mas
Nafis ke kelas sama Ustadz Febri yaah, belajar sama teman-teman.” Katanya sambil
meremas lengan Nafis lembut.
***
Begitu
masuk kelas, Nafis segera bergabung dan membaur dengan murid lainnya. Aku
melihat Ahmad, Zahra, Qayis, dan Rio mengerubunginya. Menanyainya tentang warna
seragamnya yang baru, namanya, dan banyak pertanyaan lucu lain yang sempat
membuatku tersenyum.
Tiba-tiba
Zahra berlari ke arahku sambil menunjuk Nafis.
“Ustadz,
kok Nafis ngomongnya suka kebalik sih?” Tanyanya sambil sesekali kembali
menunjuk Nafis. Aku tersenyum.
“Kebalik
gimana mbak Zahra?”
“Masa
bilang baju ‘daju’.”
“Betulkan
dong Mbak…” Aku menowel pipinya lembut.
“Udaah,
tapi diulangi terus.”
Kami tertawa bersama lalu dengan
sedikit ayunan tangan dan lagu kami duduk rapi di bangku masing-masing dan
memulai doa sebelum belajar.
***
Matahari sudah setinggi tombak.
Seperti biasa, aku melambai menyuruh pernak-pernikku masuk kelas lalu berdoa
pulang. Setelah itu segera kebereskan berkas tugas anak-anak untuk kubawa
pulang. Aku mengusap tengkukku, hari ini tidak terlalu panas. Alhamdulillah.
Aku menatap lembar kerja Nafis dan sekilas kulihat tulisannya yang terbalik.
Dahiku lantas mengernyit. Baru sadar, sudah sebulan sejak pertamakali Zahra
bercerita tentang bicara Nafis yang terbalik. Kutemukan juga ia sering menulis
terbalik saat mengoreksi lembaran kerjanya.
Nafis juga kesulitan menyebutkan
warna pelangi meski melihatnya di depan mata. Ia juga kebingungan mengurutkan
angka. Tapi Nafis tidak bodoh. Ia selalu aktif, ceria dan pandai bernyanyi.
Terkadang saat sedang sendirian, diam-diam kuamati ia sedang bergumam tidak
jelas.
Aku mempercepat beres-beresku dan
segera pulang. Di rumah, aku segera menyalakan sambungan internet dan mengetik keyword “Berbicara sering terbalik sindrom”, “Tidak bisa menyebutkan warna” Kudapati
banyak kemungkinan sindrom, aku mengetik salah satu laman dan menemukan cirri-ciri
Nafis di sana. Aku menggeleng tak percaya.
***
Keesokan harinya aku berniat
memanggil orang tuanya ke sekolah. Aku menemui Ustadzah Naya dan
mengkonsultasikan ini dengannya. Di jalan menuju ruangan kepala sekolah aku
melihat Nafis dan Zahra duduk bersebelahan. Mereka cepat sekali akrab. Zahra
terlihat memperhatikan Nafis dan menirukan apa yang diucapkannya. Aku harap
Zahra tidak sedang mengejek Nafis.
Aku sampai di ruang kepala sekolah
dan melihat Ustadzah Naya sedang duduk menghadap layar computer.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam…
masuk Ustadz.”
“Saya sepertinya mau panggil orang
tua nafis Ustadzah.”
Ustadzah Naya menoleh sebentar, “Kenapa
ustadz?”
“Sepertinya… mas Nafis berkebutuhan
khusus. Butuh perhatian lebih ustadzah.” Ujarku ragu-ragu.
“Maksudnya?” Ustadzah Naya
sepenuhnya menghadapku.
“Sepertinya Mas Nafis disleksia.”
Ustadzah Naya menatapku, kaca
matanya melorot sedikit.
“Hmm… orang tuanya agak sulit
dihubungi Ustadz.” Keluh ustadzah Naya sambil melipat kedua tangannya di atas
meja.
“Harus diberitahu orang tuanya
Ustadzah, kalo nggak Mas nafis bisa ketinggalan banyak sama teman-temannya.”
“Orang tuanya dua-duanya pengusaha,
sibuk dan jarang di rumah. Sehari-hari Nafis diasuh sama mbak pengasuhnya.”
“Biar saya home visit ke rumah Mas Nafis kalo gitu.” Tegasku. “Paling tidak
saya bisa berpesan sama pengasuhnya.”
***
Saat
istirahat kulihat Zahra kembali berkutat di sekitar Nafis. Kali ini ia bersama
lebih banyak anak duduk mengelilingi Nafis. Aku jadi tertarik dan duduk di
dekat mereka. Kudengar mereka mengikuti Nafis bersama-sama. Aku mendekatkan
tempat dudukku dan menajamkan pendengaran. Lamat-lamat kudengar potongan surat
An-Naba’ yang dilantunkan Zahra dan komplotannya mengikuti Nafis. Aku terkesima
menatapnya. Ternyata Nafis sedang memimpin teman-temannya menghapal Juz Amma.
Seusai sekolah kuminta alamat Nafis
dari bagian arsip dan berniat mengunjungi rumahnya. Seperti kata Ustadzah Naya,
hanya ada para pembantu dan Mbak pengasuh yang menemani Nafis. Kuutarakan
maksud kedatanganku pada Mbak Marina, pengasuhnya dan kutitip pesan padanya
bahwa aku akan datang lagi menemui Ayah Bunda Nafis lain kali.
***
Bel pulang sudah berbunyi sejak
tadi. Gerombolan wali murid yang menunggu di depan sekolah juga mulai menipis.
Aku mengajak nafis duduk bersisian di bawah pohon di tepi lapangan, tempat
anak-anak biasa bermain.
“Mas Nafis bisa baca tulisan itu
nggak?” Seruku tiba-tiba sambil menunjuk plang besar di depan sekolah.
“Mmm… sulit.” Katanya setelah
mendongak memandang plang itu cukup lama.
“Kenapa sulit?” Aku memeluk
pundaknya. “Ayo kita baca sama-sama.”
“T…, K…, I…,” Kami mengeja
bersama-sama lalu kemudian Nafis menunduk menggelengkan kepalanya.
“Kenapa Mas?” Aku mengusap
rambutnya.
“Pusing.”
“Pusing kenapa?”
“Itu goyang-goyang.” Jawabnya
sambil mulai menggerak-gerakkan kakinya.
“Apanya yang goyang?”
“Tulisannya goyang-goyang ga bisa
dibaca.”
Aku mengangguk mengerti. Dalam
artikel yang kubaca di internet juga disebutkan bahwa huruf-huruf terlihat
bergerak sehingga sulit dieja bagi penderita disleksia.
Kami terdiam cukup lama menikmati
semilir angin yang terkadang bertiup menyejukkan. Tiba-tiba kudengar gumaman
khas itu lagi. Aku mendekatkan tubuhku pada Nafis agar mendengar lebih
jelas. Ia melirikku dan dengan sengaja
mengeraskan gumamannya. Aku bisa mendengar dengan jelas dan terkejut menyadari
apa yang selama ini digumamkan Nafis. Sontak aku memeluk Nafis dengan erat. Aku
menangis mengingat kunjungan singkatku ke rumahnya kemarin. Mbak Marina meminta
maaf bahwa Nafis agak bodoh dan sulit diajari. Aku berteriak dalam benakku. Tidak
ada anak yang ‘agak bodoh’ yang bisa melafalkan ayat-ayat dari surat Ar Rahman
dengan lancar dan indah seperti ini.
“Mas, besok setiap pulang sekolah
duduk di sini sama ustadz ya. Kita belajar membaca, kita coba baca meskipun
tulisannya goyang-goyang.” Mataku sembab tanpa terasa.
***
Aku sedang jongkok di atas karpet
menatap anak-anak yang sedang menggambar sambil rebah tidak beraturan. Zahra
tiba-tiba bangun mengibaskan kertasnya yang bergambar lingkaran besar sekali,
lalu berjalan mendekatiku. Ada coretan krayon di pipi tembemnya.
“Ustadz, Nafis kenapa sih kok ga
masuk terus?” Tanyanya sambil melanjutkan gambarnya di sampingku.
Refleks aku memandang loker nafis
di seberang ruangan. Sudah tiga hari pernikku itu tidak masuk sekolah. Sopirnya
yang sering mengantar meng-sms ku,
katanya Nafis sakit panas.
“Mas nafis sedang sakit Mbak,
didoakan ya semoga cepat sembuh.”
Aku ingat saat kami biasa duduk di
bawah pohon di pinggir lapangan. Setelah berhasil menghapal huruf abjad, aku
memintanya membacakan untukku ayat Qur’an yang dihapalnya.
“Yang mana?” Tanyanya sambil
memandangku dengan bola mata kelerengnya.
“Yang pernah dibaca Mas Nafis di
sini.”
Ia memandangku sebentar, lalu
diawali dengan taawudz
kalimat-kalimat Tuhan itu mengalir lancar dari bibirnya. Ayat demi ayat
dilafadzkan dengan sangat jelas dan tartil.
Suaranya memang tidak semerdu qari’ cilik yang terkenal itu, namun kefasihan
bacaannya istimewa untuk anak seusianya. Surat Ar-Rahman selesai, lalu ia
lanjut ke surat setelahnya. Aku terkesima di sampingnya.
“Siapa yang ngajari mengaji mas?”
Tanyaku setelah ia menyelesaikan bacaan surat Al-Waqi’ah-nya.
Iya hanya menggeleng pelan.
Membuatku semakin penasaran.
“Di masjib kan ada naji, aku deneri
aja.” Mendengar jawabannya yang terbata, seperti ada air es yang menetes tepat
di atas dadaku. Perasaan buncah itu tiba-tiba menggelembung memenuhi jantungku
lalu dengan lembut membasahi pelupuk mataku. Sejak bertemu Nafis ntah sudah
berapa kali aku menangis seperti ini.
Tepat setelah lamunanku berakhir,
Ustadzah Rina, menghambur masuk ke kelas dan membisikkan kalimat dengan isyarat
jemari di telinga.
“Ada telepon, dari walinya Nafis.”
Aku pamit pada anak-anak sebentar
dan berlari menuju telepon di kantor guru.
***
Aku segera berlalu menuju rumah
nafis setelah menerima telepon dari Ayahnya di sekolah. Seorang lelaki
berpenampilan necis membukakan pintu untukku. Dengan serta merta aku dipeluknya
dan diarahkannya aku menuju kamar nafis di lantai atas.
Yang pertama kali ditangkap
inderaku adalah sosok Nafis di atas kasur. Tiang infus beserta kabelnya melilit
di sebelahnya. Aku mengucap salam. Seorang wanita yang juga Bunda Nafis
menjawab salamku. Nafis menoleh, mata kelerengnya segera menemukanku.
“Apa kabar Mas Nafis… cepat sembuh
yaa. Teman-teman sudah kangen sama mas Nafis.” Aku mengusap pipinya yang makin
tirus. Ia tersenyum.
“Iya Ustadz, mas Nafis rewel terus
ini maemnya.” Sahut Bundanya sambil berdiri di sisi ranjang lainnya.
“Kenapa kok rewel?” Aku memandang
Nafis. Ia hanya menggeleng lemah.
“Katanya mau ditemani Ustadz Febri,
sekarang maem yaaa…” Seru Ayah Nafis yang berdiri di dekat pintu kamar, sambil
tangannya bergerak memberikan isyarat pada pembantu untuk mengambilkan Nafis
makan.
“Ayo maem, Ustadz suapi yaa.”
Tambahku cepat.
Lalu adegan berikutnya adalah Ayah
dan Bunda Nafis duduk di seberang ranjang menatapku menyuapi Nafis, yang
akhirnya mau makan. Sekilas aku menangkap getar cemburu di wajah mereka. Mereka
melewatkan momen penting dalam hidup Nafis pada orang asing sepertiku.
Setelah Nafis selesai makan dan
minum obat, aku diajak Ayah dan Bunda Nafis mengobrol di ruang tamu.
“Begini Ustadz, mohon maaf terus
terang saya bingung waktu Nafis menyebut-nyebut nama Ustadz Febri waktu
menangis.” Aku menyimak muqoddimah Bunda Nafis. “Terus saya Tanya Mba Mar,
katanya itu ustadznya Nafis yang pernah kesini. Jadi mohon maaf merepotkan saya
minta datang ke rumah.”
“Nggak papa Bunda, kebetulan sekali
saya pingin ketemu secara pribadi sama Ayah dan Bunda.”
“Ada apa Ustadz?”
“Begini, Mas Nafis ini ada gejala
disleksia.” Aku terdiam sebentar menunggu reaksi mereka. “Disleksia itu sindrom
kesulitan membaca dan mencerna perintah verbal.”
“Iya padahal sudah sering saya
ajari membaca bahkan saya datangkan guru privat.” Potong Ayah Nafis defensif.
“Bukaan… disleksia bukan berarti
anak malas belajar. Disleksia berhubungan dengan meneruskan kata-kata verbal
pada memori pada otak. Namun anak-anak disleksia tidak bisa mencerna bahasa dan
kata-kata baik secara lisan atau tulisan seperti anak non disleksia pada
umumnya, sehingga sering disalah artikan sebagai malas belajar dan bodoh.” Aku
menelan ludah, “Tanda-tandanya adalah kesulitan konsentrasi, tidak fokus, sulit
membaca dan mengurutkan sesuatu, tidak bisa membedakan atas, bawah, kiri,
kanan, sering terbalik saat berbicara.”
Aku menarik napas, sambil mengamati
ekspresi wajah Ayah dan Bunda Nafis yang masih tampak belum paham.
“Jadi… harus bagaimana Ustadz?”
Bunda Nafis bersuara.
“Jadi, sebaiknya mas Nafis dibawa
ke psikolog dulu untuk lebih jelasnya. Lalu berikutnya peran orang tua sangat
krusial di sini. Jadi tidak boleh dikatai ‘bodoh’ atau ‘malas’, didampingi
terus saja belajarnya dan sering dipeluk.” Aku tersenyum mengakhiri ceramah pas
pasanku.
“Mohon maaf Ustadz Febri ini sudah
berkeluarga atau…” Tanya Ayah Nafis tiba-tiba.
“Mmm… belum.” Aku tersenyum malu.
Aku satu-satunya pria dan berstatus single
di sekolah.
***
Aku menatap Zahra, Ahmad,Nafis dan
yang lainnya melingkar di koridor sekolah. Sudah lima bulan sejak aku bertemu
nafis pertama kali di ruang guru, dan sudah dua bulan sejak aku datang menemui
Ayah dan Bunda Nafis. Sekarang ia semakin pintar mengeja dan menyebutkan warna.
Semenjak orang tuanya mulai meluangkan waktu untuk menemaninya belajar di
rumah. Ia juga semakin akrab dengan teman-temannya. Kerap kali kulihat ia duduk
memimpin lingkaran seperti ini, lalu menalaqqi teman-temannya hapalan juz Amma.
Seperti halaqah orang dewasa saja.
Bel masuk berbunyi nyaring. Waktu
istirahat berakhir ditandai dengan sempurnanya matahari di atas kepala, dan panasnya
yang menyilaukan. Dengan enggan kutinggalkan pemandangan unik di depanku itu
dan seperti biasa aku berteriak di pinggir lapangan. Memanggil pernak-pernakku
masuk kelas.. Pernak-pernik yang tidak pernah berhenti berkilau meski tidak
disinari matahari. Yang setiap butirannya unik dengan orisinalitas
masing-masing. Tempaan lingkungan dan pengalaman hiduplah yang akan membentuk
kepribadian mereka yang sesungguhnya nanti. Yang membuatnya semakin berkilau,
atau pudar tak berharga. Aku hanya berharap para orang tua menyadari kilau pernak-pernik
ini dan mengerti cara memolesnya agar semakin kinclong. Seperti beberapa manic-manikku yang sedang melingkar di
sana.
Langganan:
Postingan (Atom)