Minggu, 03 Mei 2015

Pernak-pernik




Aku memicingkan mata memandang pernak-pernik bermandikan cahaya matahari di kejauhan. Pernak-pernik itu tampak berkilauan di atas lapangan berpasir. Berlarian kesana-kemari, terkadang menyemburkan tawa kecil yang berisik atau teriakan nyaring yang memekik. Beberapa dari pernak-pernik itu bergulingan di tanah dan berlumuran pasir, lalu bangkit kembali berlarian sambil tertawa riang. Tanpa sadar aku tertawa kecil memandang pemandangan itu. Pemandangan yang teramat lucu sekaligus menghangatkan. Pernak-pernik yang berlarian dalam balutan seragam ungu putih bernoda kecoklatan itu adalah murid-muridku tersayang.
Aku mengusap mataku yang terasa mulai panas karena terlalu lama memandang cahaya matahari. Sudah pukul dua belas, waktunya kembali masuk kelas lalu berdoa pulang. Aku beranjak menuju tempat bel berada.
“Udah waktunya bel Ustadzah.” Aku mengingatkan Ustadzah Hani yang sedang duduk tilawah di belakang mejanya. Ia hanya mengangguk dan tersenyum.
Kupencet bel tiga kali tanda masuk kelas. Kulihat Ustadzah Hani beranjak meletakkan mushafnya di atas meja dan berjalan keluar, bertepuk tangan memanggil pernak-pernik itu kembali ke kelas masing-masing.
Langkah kakiku ke kelas diikuti gemerisik suara-suara seolah-olah energi mereka tidak berkurang setelah bermain. Berdiri di depan kelas seperti biasa, menunggu muridku masuk kelas satu persatu. Seperti laser mataku berkeliling menatap koridor sekolah yang berkeramik ungu, menyortir anak-anak yang masih bergeletakan di luar kelas.
“Ayo… Mas Ahmad, masuk dulu kita berdoa.” Seruku pada anak lelaki berusia 6 tahun yang sedang sibuk bergulingan di depan kelas memegang balok kayu warna-warni. Ahmad hanya menoleh sebentar, lalu kembali mengayunkan baloknya seolah-olah itu robot mainan. Aku membiarkan Ahmad sebentar.
Mataku beralih pada dua anak perempuan yang sedang terkikik berdua, sedangkan kerudung yang sudah lecek tersampir di pundak mereka. “Mbak Zahra, Mbak Fina, ayo masuk dulu. Kita berdoa terus pulang.” Seruku sambil bertepuk tangan. Seperti Ahmad, Zahra dan Fina hanya menoleh sebentar, lalu kembali terkikik.
Dengan gemas aku melangkah mendekati mereka dan meraih kedua lengan mungil yang saling berkait itu. “Ayo masuk, nanti ustadz seret mau?” Tanyaku berpura-pura kesal.
“Mau, ayo seret aku Ustadz.” Jawab Zahra di luar dugaan, sambil memposisikan dirinya menelungkup di lantai, siap diseret.
“Aku juga.” Sahut Fina melakukan hal yang sama.
“Aku juga.”
“Aku juga.”
Tiba-tiba saja berkumpul empat orang anak semuanya menelungkup di lantai, tangan mereka menggapai ke arahku. Senyumku merekah, semakin gemas aku melihat kepolosan mereka. Beberapa ustadzah yang lewat berhenti berjalan dan menengok ke arah kami, lalu ikut tertawa kecil. Aku menyeret mereka bersamaan masuk kelas. Tawa kecil mereka berderai di sepanjang jalan, mengusir rasa penat yang menggelayutiku di tengah hari itu.
“Sudah sampai. Sekarang ayo duduk di bang…” Belum selesai aku bicara suara kecil yang nyaring menginterupsiku,
“Aku duduk sini aja..” Seru Zahra sambil menanamkan pantatnya di atas karpet ungu di dekat pintu, jauh dari bangku-bangku kecil yang berantakan di belakang sana.
“Aku juga duduk sini ya Ustadz.” Seru Ahmad berkomplot.
Seketika semua anak duduk di bawah, meninggalkan bangku mereka. Aku menghela napas, lagi-lagi Zahra memimpin komplotan. Aku mengalah, bersila di atas karpet dan mulai memimpin doa. Sebelum hari semakin siang, karena wali murid pasti sudah berkumpul di depan sekolah menunggu putra-putri tercinta  pulang sekolah.
***
Aku baru saja datang dan menaruh tas di atas meja, saat kulihat Ustadzah Naya masuk kantor menggandeng seorang anak lelaki bertubuh kurus memakai setelan berwarna oranye. Seragam sekolah lain.
“Murid baru Ustadzah?” Tanyaku sambil melambai pada si anak baru.
“Iya Ustadz. Mas Nafis ayo duduk sini sebentar ya, Ustadzah mau ke kamar mandi dulu.” Ujar Ustadzah Naya sambil menggamit ketiak Nafis dan menariknya ke arah kursi kosong di dekatku. Ustadzah Naya melirikku sebentar memberikan kode, lalu segera berlalu ke arah kamar mandi berada.
Kini aku tinggal berdua dengan Nafis, di dalam kantor yang dingin karena AC di pagi hari pukul enam. Aku melirik Nafis diam-diam. Sedari tadi matanya sibuk menatap kesana kemari seperti sinar laser. Kakinya berayun membentur kaki kursi setiap sepuluh detik, sedangkan bibirnya terus bergumam mengeluarkan dengungan yang tidak jelas. Mungkin sebuah lagu? Ia  penasaran, aku penasaran, jadi kuulurkan tangan ke arahnya.
“Namanya siapa Mas?” Tanyaku meski aku sudah dengar namanya.
“Nasif Addul K’arim.” Jawabnya agak belepotan. Ia menyalami tanganku dan menciumnya.
“Nama ustadz, Febri,” Aku memperkenalk an diriku. “Mas Nafis kesini diantar siapa?”
“Ustazah Naya.” Ia mulai mengaitkan jemarinya, tubuhnya berayun perlahan bergerak bergantian bersama ayunan kakinya. Ia butuh kesibukan, dia mungkin aktif.
Aku meraih rubik empat warna di atas mejaku dan menyerahkannya pada Nafis. Ia meraihnya dengan tangannya yang mungil dan balok-balok rubik itu segera bergeser kesana kemari berpindah warna. Aku menatap rubik itu sekilas lalu menatap wajahnya, matanya masih terus berkeliling, sambil jemarinya terus bergerak. Aku berdecak memuji Allah pelan..
“Mas Nafis sudah makan?”  Aku melanjutkan interogasiku.
“Syubah.”
“Sudah?”
“Makan apa tadi?”
“Nasi, saur asem.”
“Sayur asem, hahaha…”
Aku tertawa gemas mendengar ejaan cadelnya, lantas menowel pipinya yang tirus dan meniup poni tipis yang menutupi dahinya. Saat itulah wajahnya mendongak ke arahku dan mata kami bertemu. Selama sepersekian detik, aku pikir aku melihat sesuatu di matanya. Ada ornamen warna-warni yang berkilat dalam bola matanya, mengingatkanku akan ornament warna-warni dalam bulatan kelereng yang sering kumainkan saat aku seumuran Nafis.
Aku mulai berpikir ada yang istimewa dengan Nafis, dan berencana mengorek lebih dalam tentangnya. Namun aku mendengar langkah kaki mendekat, Ustdzah Naya sudah kembali.
“Mas Nafis sudah kenalan dengan Ustadz Febri?” Tanyanya sambil menatap kami berdua bergantian. Nafis mengangguk sekilas dan aku tersenyum sambil mengacak rambutnya.
“Ini anak antum Ustadz.” Kata Ustadzah Naya mengejutkanku.
 “Eh, apa?” Aku memandang Ustadzah Naya.
Ustadzah kepala sekolah itu hanya tersenyum sekilas lalu kembali focus pada Nafis.
“Mas Nafis ke kelas sama Ustadz Febri yaah, belajar sama teman-teman.” Katanya sambil meremas lengan Nafis lembut.
***
Begitu masuk kelas, Nafis segera bergabung dan membaur dengan murid lainnya. Aku melihat Ahmad, Zahra, Qayis, dan Rio mengerubunginya. Menanyainya tentang warna seragamnya yang baru, namanya, dan banyak pertanyaan lucu lain yang sempat membuatku tersenyum.
Tiba-tiba Zahra berlari ke arahku sambil menunjuk Nafis.
“Ustadz, kok Nafis ngomongnya suka kebalik sih?” Tanyanya sambil sesekali kembali menunjuk Nafis. Aku tersenyum.
“Kebalik gimana mbak Zahra?”
“Masa bilang baju ‘daju’.”
“Betulkan dong Mbak…” Aku menowel pipinya lembut.
“Udaah, tapi diulangi terus.”
Kami tertawa bersama lalu dengan sedikit ayunan tangan dan lagu kami duduk rapi di bangku masing-masing dan memulai doa sebelum belajar.
***
Matahari sudah setinggi tombak. Seperti biasa, aku melambai menyuruh pernak-pernikku masuk kelas lalu berdoa pulang. Setelah itu segera kebereskan berkas tugas anak-anak untuk kubawa pulang. Aku mengusap tengkukku, hari ini tidak terlalu panas. Alhamdulillah. Aku menatap lembar kerja Nafis dan sekilas kulihat tulisannya yang terbalik. Dahiku lantas mengernyit. Baru sadar, sudah sebulan sejak pertamakali Zahra bercerita tentang bicara Nafis yang terbalik. Kutemukan juga ia sering menulis terbalik saat mengoreksi lembaran kerjanya.
Nafis juga kesulitan menyebutkan warna pelangi meski melihatnya di depan mata. Ia juga kebingungan mengurutkan angka. Tapi Nafis tidak bodoh. Ia selalu aktif, ceria dan pandai bernyanyi. Terkadang saat sedang sendirian, diam-diam kuamati ia sedang bergumam tidak jelas.
Aku mempercepat beres-beresku dan segera pulang. Di rumah, aku segera menyalakan sambungan internet dan mengetik keywordBerbicara sering terbalik sindrom”, “Tidak bisa menyebutkan warna” Kudapati banyak kemungkinan sindrom, aku mengetik salah satu laman dan menemukan cirri-ciri Nafis di sana. Aku menggeleng tak percaya.
***
Keesokan harinya aku berniat memanggil orang tuanya ke sekolah. Aku menemui Ustadzah Naya dan mengkonsultasikan ini dengannya. Di jalan menuju ruangan kepala sekolah aku melihat Nafis dan Zahra duduk bersebelahan. Mereka cepat sekali akrab. Zahra terlihat memperhatikan Nafis dan menirukan apa yang diucapkannya. Aku harap Zahra tidak sedang mengejek Nafis.
Aku sampai di ruang kepala sekolah dan melihat Ustadzah Naya sedang duduk menghadap layar computer.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam… masuk Ustadz.”
“Saya sepertinya mau panggil orang tua nafis Ustadzah.”
Ustadzah Naya menoleh sebentar, “Kenapa ustadz?”
“Sepertinya… mas Nafis berkebutuhan khusus. Butuh perhatian lebih ustadzah.” Ujarku ragu-ragu.
“Maksudnya?” Ustadzah Naya sepenuhnya menghadapku.
“Sepertinya Mas Nafis disleksia.”
Ustadzah Naya menatapku, kaca matanya melorot sedikit.
“Hmm… orang tuanya agak sulit dihubungi Ustadz.” Keluh ustadzah Naya sambil melipat kedua tangannya di atas meja.
“Harus diberitahu orang tuanya Ustadzah, kalo nggak Mas nafis bisa ketinggalan banyak sama teman-temannya.”
“Orang tuanya dua-duanya pengusaha, sibuk dan jarang di rumah. Sehari-hari Nafis diasuh sama mbak pengasuhnya.”
“Biar saya home visit ke rumah Mas Nafis kalo gitu.” Tegasku. “Paling tidak saya bisa berpesan sama pengasuhnya.”
***
Saat istirahat kulihat Zahra kembali berkutat di sekitar Nafis. Kali ini ia bersama lebih banyak anak duduk mengelilingi Nafis. Aku jadi tertarik dan duduk di dekat mereka. Kudengar mereka mengikuti Nafis bersama-sama. Aku mendekatkan tempat dudukku dan menajamkan pendengaran. Lamat-lamat kudengar potongan surat An-Naba’ yang dilantunkan Zahra dan komplotannya mengikuti Nafis. Aku terkesima menatapnya. Ternyata Nafis sedang memimpin teman-temannya menghapal Juz Amma.
Seusai sekolah kuminta alamat Nafis dari bagian arsip dan berniat mengunjungi rumahnya. Seperti kata Ustadzah Naya, hanya ada para pembantu dan Mbak pengasuh yang menemani Nafis. Kuutarakan maksud kedatanganku pada Mbak Marina, pengasuhnya dan kutitip pesan padanya bahwa aku akan datang lagi menemui Ayah Bunda Nafis lain kali.
***
Bel pulang sudah berbunyi sejak tadi. Gerombolan wali murid yang menunggu di depan sekolah juga mulai menipis. Aku mengajak nafis duduk bersisian di bawah pohon di tepi lapangan, tempat anak-anak biasa bermain.
“Mas Nafis bisa baca tulisan itu nggak?” Seruku tiba-tiba sambil menunjuk plang besar di depan sekolah.
“Mmm… sulit.” Katanya setelah mendongak memandang plang itu cukup lama.
“Kenapa sulit?” Aku memeluk pundaknya. “Ayo kita baca sama-sama.”
“T…, K…, I…,” Kami mengeja bersama-sama lalu kemudian Nafis menunduk menggelengkan kepalanya.
“Kenapa Mas?” Aku mengusap rambutnya.
“Pusing.”
“Pusing kenapa?”
“Itu goyang-goyang.” Jawabnya sambil mulai menggerak-gerakkan kakinya.
“Apanya yang goyang?”
“Tulisannya goyang-goyang ga bisa dibaca.”
Aku mengangguk mengerti. Dalam artikel yang kubaca di internet juga disebutkan bahwa huruf-huruf terlihat bergerak sehingga sulit dieja bagi penderita disleksia.
Kami terdiam cukup lama menikmati semilir angin yang terkadang bertiup menyejukkan. Tiba-tiba kudengar gumaman khas itu lagi. Aku mendekatkan tubuhku pada Nafis agar mendengar lebih jelas.  Ia melirikku dan dengan sengaja mengeraskan gumamannya. Aku bisa mendengar dengan jelas dan terkejut menyadari apa yang selama ini digumamkan Nafis. Sontak aku memeluk Nafis dengan erat. Aku menangis mengingat kunjungan singkatku ke rumahnya kemarin. Mbak Marina meminta maaf bahwa Nafis agak bodoh dan sulit diajari. Aku berteriak dalam benakku. Tidak ada anak yang ‘agak bodoh’ yang bisa melafalkan ayat-ayat dari surat Ar Rahman dengan lancar dan indah seperti ini.
“Mas, besok setiap pulang sekolah duduk di sini sama ustadz ya. Kita belajar membaca, kita coba baca meskipun tulisannya goyang-goyang.” Mataku sembab tanpa terasa.
***
Aku sedang jongkok di atas karpet menatap anak-anak yang sedang menggambar sambil rebah tidak beraturan. Zahra tiba-tiba bangun mengibaskan kertasnya yang bergambar lingkaran besar sekali, lalu berjalan mendekatiku. Ada coretan krayon di pipi tembemnya.
“Ustadz, Nafis kenapa sih kok ga masuk terus?” Tanyanya sambil melanjutkan gambarnya di sampingku.
Refleks aku memandang loker nafis di seberang ruangan. Sudah tiga hari pernikku itu tidak masuk sekolah. Sopirnya yang sering mengantar meng-sms ku, katanya Nafis sakit panas.
“Mas nafis sedang sakit Mbak, didoakan ya semoga cepat sembuh.”
Aku ingat saat kami biasa duduk di bawah pohon di pinggir lapangan. Setelah berhasil menghapal huruf abjad, aku memintanya membacakan untukku ayat Qur’an yang dihapalnya.
“Yang mana?” Tanyanya sambil memandangku dengan bola mata kelerengnya.
“Yang pernah dibaca Mas Nafis di sini.”
Ia memandangku sebentar, lalu diawali dengan taawudz kalimat-kalimat Tuhan itu mengalir lancar dari bibirnya. Ayat demi ayat dilafadzkan dengan sangat jelas dan tartil. Suaranya memang tidak semerdu qari’ cilik yang terkenal itu, namun kefasihan bacaannya istimewa untuk anak seusianya. Surat Ar-Rahman selesai, lalu ia lanjut ke surat setelahnya. Aku terkesima di sampingnya.
“Siapa yang ngajari mengaji mas?” Tanyaku setelah ia menyelesaikan bacaan surat Al-Waqi’ah-nya.
Iya hanya menggeleng pelan. Membuatku semakin penasaran.
“Di masjib kan ada naji, aku deneri aja.” Mendengar jawabannya yang terbata, seperti ada air es yang menetes tepat di atas dadaku. Perasaan buncah itu tiba-tiba menggelembung memenuhi jantungku lalu dengan lembut membasahi pelupuk mataku. Sejak bertemu Nafis ntah sudah berapa kali aku menangis seperti ini.
Tepat setelah lamunanku berakhir, Ustadzah Rina, menghambur masuk ke kelas dan membisikkan kalimat dengan isyarat jemari di telinga.
“Ada telepon, dari walinya Nafis.”
Aku pamit pada anak-anak sebentar dan berlari menuju telepon di kantor guru.
***
Aku segera berlalu menuju rumah nafis setelah menerima telepon dari Ayahnya di sekolah. Seorang lelaki berpenampilan necis membukakan pintu untukku. Dengan serta merta aku dipeluknya dan diarahkannya aku menuju kamar nafis di lantai atas.
Yang pertama kali ditangkap inderaku adalah sosok Nafis di atas kasur. Tiang infus beserta kabelnya melilit di sebelahnya. Aku mengucap salam. Seorang wanita yang juga Bunda Nafis menjawab salamku. Nafis menoleh, mata kelerengnya segera menemukanku.
“Apa kabar Mas Nafis… cepat sembuh yaa. Teman-teman sudah kangen sama mas Nafis.” Aku mengusap pipinya yang makin tirus. Ia tersenyum.
“Iya Ustadz, mas Nafis rewel terus ini maemnya.” Sahut Bundanya sambil berdiri di sisi ranjang lainnya.
“Kenapa kok rewel?” Aku memandang Nafis. Ia hanya menggeleng lemah.
“Katanya mau ditemani Ustadz Febri, sekarang maem yaaa…” Seru Ayah Nafis yang berdiri di dekat pintu kamar, sambil tangannya bergerak memberikan isyarat pada pembantu untuk mengambilkan Nafis makan.
“Ayo maem, Ustadz suapi yaa.” Tambahku cepat.
Lalu adegan berikutnya adalah Ayah dan Bunda Nafis duduk di seberang ranjang menatapku menyuapi Nafis, yang akhirnya mau makan. Sekilas aku menangkap getar cemburu di wajah mereka. Mereka melewatkan momen penting dalam hidup Nafis pada orang asing sepertiku.
Setelah Nafis selesai makan dan minum obat, aku diajak Ayah dan Bunda Nafis mengobrol di ruang tamu.
“Begini Ustadz, mohon maaf terus terang saya bingung waktu Nafis menyebut-nyebut nama Ustadz Febri waktu menangis.” Aku menyimak muqoddimah Bunda Nafis. “Terus saya Tanya Mba Mar, katanya itu ustadznya Nafis yang pernah kesini. Jadi mohon maaf merepotkan saya minta datang ke rumah.”
“Nggak papa Bunda, kebetulan sekali saya pingin ketemu secara pribadi sama Ayah dan Bunda.”
“Ada apa Ustadz?”
“Begini, Mas Nafis ini ada gejala disleksia.” Aku terdiam sebentar menunggu reaksi mereka. “Disleksia itu sindrom kesulitan membaca dan mencerna perintah verbal.”
“Iya padahal sudah sering saya ajari membaca bahkan saya datangkan guru privat.” Potong Ayah Nafis defensif.
“Bukaan… disleksia bukan berarti anak malas belajar. Disleksia berhubungan dengan meneruskan kata-kata verbal pada memori pada otak. Namun anak-anak disleksia tidak bisa mencerna bahasa dan kata-kata baik secara lisan atau tulisan seperti anak non disleksia pada umumnya, sehingga sering disalah artikan sebagai malas belajar dan bodoh.” Aku menelan ludah, “Tanda-tandanya adalah kesulitan konsentrasi, tidak fokus, sulit membaca dan mengurutkan sesuatu, tidak bisa membedakan atas, bawah, kiri, kanan, sering terbalik saat berbicara.”
Aku menarik napas, sambil mengamati ekspresi wajah Ayah dan Bunda Nafis yang masih tampak belum paham.
“Jadi… harus bagaimana Ustadz?” Bunda Nafis bersuara.
“Jadi, sebaiknya mas Nafis dibawa ke psikolog dulu untuk lebih jelasnya. Lalu berikutnya peran orang tua sangat krusial di sini. Jadi tidak boleh dikatai ‘bodoh’ atau ‘malas’, didampingi terus saja belajarnya dan sering dipeluk.” Aku tersenyum mengakhiri ceramah pas pasanku.
“Mohon maaf Ustadz Febri ini sudah berkeluarga atau…” Tanya Ayah Nafis tiba-tiba.
“Mmm… belum.” Aku tersenyum malu. Aku satu-satunya pria dan berstatus single di sekolah.
***
Aku menatap Zahra, Ahmad,Nafis dan yang lainnya melingkar di koridor sekolah. Sudah lima bulan sejak aku bertemu nafis pertama kali di ruang guru, dan sudah dua bulan sejak aku datang menemui Ayah dan Bunda Nafis. Sekarang ia semakin pintar mengeja dan menyebutkan warna. Semenjak orang tuanya mulai meluangkan waktu untuk menemaninya belajar di rumah. Ia juga semakin akrab dengan teman-temannya. Kerap kali kulihat ia duduk memimpin lingkaran seperti ini, lalu menalaqqi teman-temannya hapalan juz Amma. Seperti halaqah orang dewasa saja.
Bel masuk berbunyi nyaring. Waktu istirahat berakhir ditandai dengan sempurnanya matahari di atas kepala, dan panasnya yang menyilaukan. Dengan enggan kutinggalkan pemandangan unik di depanku itu dan seperti biasa aku berteriak di pinggir lapangan. Memanggil pernak-pernakku masuk kelas.. Pernak-pernik yang tidak pernah berhenti berkilau meski tidak disinari matahari. Yang setiap butirannya unik dengan orisinalitas masing-masing. Tempaan lingkungan dan pengalaman hiduplah yang akan membentuk kepribadian mereka yang sesungguhnya nanti. Yang membuatnya semakin berkilau, atau pudar tak berharga. Aku hanya berharap para orang tua menyadari kilau pernak-pernik ini dan mengerti cara memolesnya agar semakin kinclong. Seperti beberapa manic-manikku yang sedang melingkar di sana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan kalian mo komentar apa aja boleh! silahkan suka-suka aja, tapi ntar kalo aku gigit....ga tanggung sama sekali!!!!