Aku
memicingkan mata memandang pernak-pernik bermandikan cahaya matahari di
kejauhan. Pernak-pernik itu tampak berkilauan di atas lapangan berpasir. Berlarian
kesana-kemari, terkadang menyemburkan tawa kecil yang berisik atau teriakan
nyaring yang memekik. Beberapa dari pernak-pernik itu bergulingan di tanah dan
berlumuran pasir, lalu bangkit kembali berlarian sambil tertawa riang. Tanpa
sadar aku tertawa kecil memandang pemandangan itu. Pemandangan yang teramat
lucu sekaligus menghangatkan. Pernak-pernik yang berlarian dalam balutan
seragam ungu putih bernoda kecoklatan itu adalah murid-muridku tersayang.
Aku
mengusap mataku yang terasa mulai panas karena terlalu lama memandang cahaya
matahari. Sudah pukul dua belas, waktunya kembali masuk kelas lalu berdoa
pulang. Aku beranjak menuju tempat bel berada.
“Udah
waktunya bel Ustadzah.” Aku mengingatkan Ustadzah Hani yang sedang duduk
tilawah di belakang mejanya. Ia hanya mengangguk dan tersenyum.
Kupencet
bel tiga kali tanda masuk kelas. Kulihat Ustadzah Hani beranjak meletakkan
mushafnya di atas meja dan berjalan keluar, bertepuk tangan memanggil
pernak-pernik itu kembali ke kelas masing-masing.
Langkah
kakiku ke kelas diikuti gemerisik suara-suara seolah-olah energi mereka tidak
berkurang setelah bermain. Berdiri di depan kelas seperti biasa, menunggu
muridku masuk kelas satu persatu. Seperti laser mataku berkeliling menatap
koridor sekolah yang berkeramik ungu, menyortir anak-anak yang masih
bergeletakan di luar kelas.
“Ayo…
Mas Ahmad, masuk dulu kita berdoa.” Seruku pada anak lelaki berusia 6 tahun
yang sedang sibuk bergulingan di depan kelas memegang balok kayu warna-warni. Ahmad
hanya menoleh sebentar, lalu kembali mengayunkan baloknya seolah-olah itu robot
mainan. Aku membiarkan Ahmad sebentar.
Mataku
beralih pada dua anak perempuan yang sedang terkikik berdua, sedangkan kerudung
yang sudah lecek tersampir di pundak mereka. “Mbak Zahra, Mbak Fina, ayo masuk
dulu. Kita berdoa terus pulang.” Seruku sambil bertepuk tangan. Seperti Ahmad,
Zahra dan Fina hanya menoleh sebentar, lalu kembali terkikik.
Dengan
gemas aku melangkah mendekati mereka dan meraih kedua lengan mungil yang saling
berkait itu. “Ayo masuk, nanti ustadz seret mau?” Tanyaku berpura-pura kesal.
“Mau,
ayo seret aku Ustadz.” Jawab Zahra di luar dugaan, sambil memposisikan dirinya
menelungkup di lantai, siap diseret.
“Aku
juga.” Sahut Fina melakukan hal yang sama.
“Aku
juga.”
“Aku
juga.”
Tiba-tiba
saja berkumpul empat orang anak semuanya menelungkup di lantai, tangan mereka
menggapai ke arahku. Senyumku merekah, semakin gemas aku melihat kepolosan
mereka. Beberapa ustadzah yang lewat berhenti berjalan dan menengok ke arah
kami, lalu ikut tertawa kecil. Aku menyeret mereka bersamaan masuk kelas. Tawa
kecil mereka berderai di sepanjang jalan, mengusir rasa penat yang
menggelayutiku di tengah hari itu.
“Sudah
sampai. Sekarang ayo duduk di bang…” Belum selesai aku bicara suara kecil yang
nyaring menginterupsiku,
“Aku
duduk sini aja..” Seru Zahra sambil menanamkan pantatnya di atas karpet ungu di
dekat pintu, jauh dari bangku-bangku kecil yang berantakan di belakang sana.
“Aku
juga duduk sini ya Ustadz.” Seru Ahmad berkomplot.
Seketika
semua anak duduk di bawah, meninggalkan bangku mereka. Aku menghela napas,
lagi-lagi Zahra memimpin komplotan. Aku mengalah, bersila di atas karpet dan
mulai memimpin doa. Sebelum hari semakin siang, karena wali murid pasti sudah
berkumpul di depan sekolah menunggu putra-putri tercinta pulang sekolah.
***
Aku
baru saja datang dan menaruh tas di atas meja, saat kulihat Ustadzah Naya masuk
kantor menggandeng seorang anak lelaki bertubuh kurus memakai setelan berwarna
oranye. Seragam sekolah lain.
“Murid
baru Ustadzah?” Tanyaku sambil melambai pada si anak baru.
“Iya
Ustadz. Mas Nafis ayo duduk sini sebentar ya, Ustadzah mau ke kamar mandi
dulu.” Ujar Ustadzah Naya sambil menggamit ketiak Nafis dan menariknya ke arah
kursi kosong di dekatku. Ustadzah Naya melirikku sebentar memberikan kode, lalu
segera berlalu ke arah kamar mandi berada.
Kini
aku tinggal berdua dengan Nafis, di dalam kantor yang dingin karena AC di pagi
hari pukul enam. Aku melirik Nafis diam-diam. Sedari tadi matanya sibuk menatap
kesana kemari seperti sinar laser. Kakinya berayun membentur kaki kursi setiap
sepuluh detik, sedangkan bibirnya terus bergumam mengeluarkan dengungan yang
tidak jelas. Mungkin sebuah lagu? Ia penasaran, aku penasaran, jadi kuulurkan
tangan ke arahnya.
“Namanya
siapa Mas?” Tanyaku meski aku sudah dengar namanya.
“Nasif
Addul K’arim.” Jawabnya agak belepotan. Ia menyalami tanganku dan menciumnya.
“Nama
ustadz, Febri,” Aku memperkenalk an diriku. “Mas Nafis kesini diantar siapa?”
“Ustazah
Naya.” Ia mulai mengaitkan jemarinya, tubuhnya berayun perlahan bergerak
bergantian bersama ayunan kakinya. Ia butuh kesibukan, dia mungkin aktif.
Aku
meraih rubik empat warna di atas mejaku dan menyerahkannya pada Nafis. Ia
meraihnya dengan tangannya yang mungil dan balok-balok rubik itu segera
bergeser kesana kemari berpindah warna. Aku menatap rubik itu sekilas lalu menatap
wajahnya, matanya masih terus berkeliling, sambil jemarinya terus bergerak. Aku
berdecak memuji Allah pelan..
“Mas
Nafis sudah makan?” Aku melanjutkan
interogasiku.
“Syubah.”
“Sudah?”
“Makan
apa tadi?”
“Nasi,
saur asem.”
“Sayur
asem, hahaha…”
Aku
tertawa gemas mendengar ejaan cadelnya, lantas menowel pipinya yang tirus dan
meniup poni tipis yang menutupi dahinya. Saat itulah wajahnya mendongak ke arahku
dan mata kami bertemu. Selama sepersekian detik, aku pikir aku melihat sesuatu
di matanya. Ada ornamen warna-warni yang berkilat dalam bola matanya,
mengingatkanku akan ornament warna-warni dalam bulatan kelereng yang sering
kumainkan saat aku seumuran Nafis.
Aku
mulai berpikir ada yang istimewa dengan Nafis, dan berencana mengorek lebih
dalam tentangnya. Namun aku mendengar langkah kaki mendekat, Ustdzah Naya sudah
kembali.
“Mas
Nafis sudah kenalan dengan Ustadz Febri?” Tanyanya sambil menatap kami berdua
bergantian. Nafis mengangguk sekilas dan aku tersenyum sambil mengacak
rambutnya.
“Ini
anak antum Ustadz.” Kata Ustadzah Naya mengejutkanku.
“Eh, apa?” Aku memandang Ustadzah Naya.
Ustadzah
kepala sekolah itu hanya tersenyum sekilas lalu kembali focus pada Nafis.
“Mas
Nafis ke kelas sama Ustadz Febri yaah, belajar sama teman-teman.” Katanya sambil
meremas lengan Nafis lembut.
***
Begitu
masuk kelas, Nafis segera bergabung dan membaur dengan murid lainnya. Aku
melihat Ahmad, Zahra, Qayis, dan Rio mengerubunginya. Menanyainya tentang warna
seragamnya yang baru, namanya, dan banyak pertanyaan lucu lain yang sempat
membuatku tersenyum.
Tiba-tiba
Zahra berlari ke arahku sambil menunjuk Nafis.
“Ustadz,
kok Nafis ngomongnya suka kebalik sih?” Tanyanya sambil sesekali kembali
menunjuk Nafis. Aku tersenyum.
“Kebalik
gimana mbak Zahra?”
“Masa
bilang baju ‘daju’.”
“Betulkan
dong Mbak…” Aku menowel pipinya lembut.
“Udaah,
tapi diulangi terus.”
Kami tertawa bersama lalu dengan
sedikit ayunan tangan dan lagu kami duduk rapi di bangku masing-masing dan
memulai doa sebelum belajar.
***
Matahari sudah setinggi tombak.
Seperti biasa, aku melambai menyuruh pernak-pernikku masuk kelas lalu berdoa
pulang. Setelah itu segera kebereskan berkas tugas anak-anak untuk kubawa
pulang. Aku mengusap tengkukku, hari ini tidak terlalu panas. Alhamdulillah.
Aku menatap lembar kerja Nafis dan sekilas kulihat tulisannya yang terbalik.
Dahiku lantas mengernyit. Baru sadar, sudah sebulan sejak pertamakali Zahra
bercerita tentang bicara Nafis yang terbalik. Kutemukan juga ia sering menulis
terbalik saat mengoreksi lembaran kerjanya.
Nafis juga kesulitan menyebutkan
warna pelangi meski melihatnya di depan mata. Ia juga kebingungan mengurutkan
angka. Tapi Nafis tidak bodoh. Ia selalu aktif, ceria dan pandai bernyanyi.
Terkadang saat sedang sendirian, diam-diam kuamati ia sedang bergumam tidak
jelas.
Aku mempercepat beres-beresku dan
segera pulang. Di rumah, aku segera menyalakan sambungan internet dan mengetik keyword “Berbicara sering terbalik sindrom”, “Tidak bisa menyebutkan warna” Kudapati
banyak kemungkinan sindrom, aku mengetik salah satu laman dan menemukan cirri-ciri
Nafis di sana. Aku menggeleng tak percaya.
***
Keesokan harinya aku berniat
memanggil orang tuanya ke sekolah. Aku menemui Ustadzah Naya dan
mengkonsultasikan ini dengannya. Di jalan menuju ruangan kepala sekolah aku
melihat Nafis dan Zahra duduk bersebelahan. Mereka cepat sekali akrab. Zahra
terlihat memperhatikan Nafis dan menirukan apa yang diucapkannya. Aku harap
Zahra tidak sedang mengejek Nafis.
Aku sampai di ruang kepala sekolah
dan melihat Ustadzah Naya sedang duduk menghadap layar computer.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam…
masuk Ustadz.”
“Saya sepertinya mau panggil orang
tua nafis Ustadzah.”
Ustadzah Naya menoleh sebentar, “Kenapa
ustadz?”
“Sepertinya… mas Nafis berkebutuhan
khusus. Butuh perhatian lebih ustadzah.” Ujarku ragu-ragu.
“Maksudnya?” Ustadzah Naya
sepenuhnya menghadapku.
“Sepertinya Mas Nafis disleksia.”
Ustadzah Naya menatapku, kaca
matanya melorot sedikit.
“Hmm… orang tuanya agak sulit
dihubungi Ustadz.” Keluh ustadzah Naya sambil melipat kedua tangannya di atas
meja.
“Harus diberitahu orang tuanya
Ustadzah, kalo nggak Mas nafis bisa ketinggalan banyak sama teman-temannya.”
“Orang tuanya dua-duanya pengusaha,
sibuk dan jarang di rumah. Sehari-hari Nafis diasuh sama mbak pengasuhnya.”
“Biar saya home visit ke rumah Mas Nafis kalo gitu.” Tegasku. “Paling tidak
saya bisa berpesan sama pengasuhnya.”
***
Saat
istirahat kulihat Zahra kembali berkutat di sekitar Nafis. Kali ini ia bersama
lebih banyak anak duduk mengelilingi Nafis. Aku jadi tertarik dan duduk di
dekat mereka. Kudengar mereka mengikuti Nafis bersama-sama. Aku mendekatkan
tempat dudukku dan menajamkan pendengaran. Lamat-lamat kudengar potongan surat
An-Naba’ yang dilantunkan Zahra dan komplotannya mengikuti Nafis. Aku terkesima
menatapnya. Ternyata Nafis sedang memimpin teman-temannya menghapal Juz Amma.
Seusai sekolah kuminta alamat Nafis
dari bagian arsip dan berniat mengunjungi rumahnya. Seperti kata Ustadzah Naya,
hanya ada para pembantu dan Mbak pengasuh yang menemani Nafis. Kuutarakan
maksud kedatanganku pada Mbak Marina, pengasuhnya dan kutitip pesan padanya
bahwa aku akan datang lagi menemui Ayah Bunda Nafis lain kali.
***
Bel pulang sudah berbunyi sejak
tadi. Gerombolan wali murid yang menunggu di depan sekolah juga mulai menipis.
Aku mengajak nafis duduk bersisian di bawah pohon di tepi lapangan, tempat
anak-anak biasa bermain.
“Mas Nafis bisa baca tulisan itu
nggak?” Seruku tiba-tiba sambil menunjuk plang besar di depan sekolah.
“Mmm… sulit.” Katanya setelah
mendongak memandang plang itu cukup lama.
“Kenapa sulit?” Aku memeluk
pundaknya. “Ayo kita baca sama-sama.”
“T…, K…, I…,” Kami mengeja
bersama-sama lalu kemudian Nafis menunduk menggelengkan kepalanya.
“Kenapa Mas?” Aku mengusap
rambutnya.
“Pusing.”
“Pusing kenapa?”
“Itu goyang-goyang.” Jawabnya
sambil mulai menggerak-gerakkan kakinya.
“Apanya yang goyang?”
“Tulisannya goyang-goyang ga bisa
dibaca.”
Aku mengangguk mengerti. Dalam
artikel yang kubaca di internet juga disebutkan bahwa huruf-huruf terlihat
bergerak sehingga sulit dieja bagi penderita disleksia.
Kami terdiam cukup lama menikmati
semilir angin yang terkadang bertiup menyejukkan. Tiba-tiba kudengar gumaman
khas itu lagi. Aku mendekatkan tubuhku pada Nafis agar mendengar lebih
jelas. Ia melirikku dan dengan sengaja
mengeraskan gumamannya. Aku bisa mendengar dengan jelas dan terkejut menyadari
apa yang selama ini digumamkan Nafis. Sontak aku memeluk Nafis dengan erat. Aku
menangis mengingat kunjungan singkatku ke rumahnya kemarin. Mbak Marina meminta
maaf bahwa Nafis agak bodoh dan sulit diajari. Aku berteriak dalam benakku. Tidak
ada anak yang ‘agak bodoh’ yang bisa melafalkan ayat-ayat dari surat Ar Rahman
dengan lancar dan indah seperti ini.
“Mas, besok setiap pulang sekolah
duduk di sini sama ustadz ya. Kita belajar membaca, kita coba baca meskipun
tulisannya goyang-goyang.” Mataku sembab tanpa terasa.
***
Aku sedang jongkok di atas karpet
menatap anak-anak yang sedang menggambar sambil rebah tidak beraturan. Zahra
tiba-tiba bangun mengibaskan kertasnya yang bergambar lingkaran besar sekali,
lalu berjalan mendekatiku. Ada coretan krayon di pipi tembemnya.
“Ustadz, Nafis kenapa sih kok ga
masuk terus?” Tanyanya sambil melanjutkan gambarnya di sampingku.
Refleks aku memandang loker nafis
di seberang ruangan. Sudah tiga hari pernikku itu tidak masuk sekolah. Sopirnya
yang sering mengantar meng-sms ku,
katanya Nafis sakit panas.
“Mas nafis sedang sakit Mbak,
didoakan ya semoga cepat sembuh.”
Aku ingat saat kami biasa duduk di
bawah pohon di pinggir lapangan. Setelah berhasil menghapal huruf abjad, aku
memintanya membacakan untukku ayat Qur’an yang dihapalnya.
“Yang mana?” Tanyanya sambil
memandangku dengan bola mata kelerengnya.
“Yang pernah dibaca Mas Nafis di
sini.”
Ia memandangku sebentar, lalu
diawali dengan taawudz
kalimat-kalimat Tuhan itu mengalir lancar dari bibirnya. Ayat demi ayat
dilafadzkan dengan sangat jelas dan tartil.
Suaranya memang tidak semerdu qari’ cilik yang terkenal itu, namun kefasihan
bacaannya istimewa untuk anak seusianya. Surat Ar-Rahman selesai, lalu ia
lanjut ke surat setelahnya. Aku terkesima di sampingnya.
“Siapa yang ngajari mengaji mas?”
Tanyaku setelah ia menyelesaikan bacaan surat Al-Waqi’ah-nya.
Iya hanya menggeleng pelan.
Membuatku semakin penasaran.
“Di masjib kan ada naji, aku deneri
aja.” Mendengar jawabannya yang terbata, seperti ada air es yang menetes tepat
di atas dadaku. Perasaan buncah itu tiba-tiba menggelembung memenuhi jantungku
lalu dengan lembut membasahi pelupuk mataku. Sejak bertemu Nafis ntah sudah
berapa kali aku menangis seperti ini.
Tepat setelah lamunanku berakhir,
Ustadzah Rina, menghambur masuk ke kelas dan membisikkan kalimat dengan isyarat
jemari di telinga.
“Ada telepon, dari walinya Nafis.”
Aku pamit pada anak-anak sebentar
dan berlari menuju telepon di kantor guru.
***
Aku segera berlalu menuju rumah
nafis setelah menerima telepon dari Ayahnya di sekolah. Seorang lelaki
berpenampilan necis membukakan pintu untukku. Dengan serta merta aku dipeluknya
dan diarahkannya aku menuju kamar nafis di lantai atas.
Yang pertama kali ditangkap
inderaku adalah sosok Nafis di atas kasur. Tiang infus beserta kabelnya melilit
di sebelahnya. Aku mengucap salam. Seorang wanita yang juga Bunda Nafis
menjawab salamku. Nafis menoleh, mata kelerengnya segera menemukanku.
“Apa kabar Mas Nafis… cepat sembuh
yaa. Teman-teman sudah kangen sama mas Nafis.” Aku mengusap pipinya yang makin
tirus. Ia tersenyum.
“Iya Ustadz, mas Nafis rewel terus
ini maemnya.” Sahut Bundanya sambil berdiri di sisi ranjang lainnya.
“Kenapa kok rewel?” Aku memandang
Nafis. Ia hanya menggeleng lemah.
“Katanya mau ditemani Ustadz Febri,
sekarang maem yaaa…” Seru Ayah Nafis yang berdiri di dekat pintu kamar, sambil
tangannya bergerak memberikan isyarat pada pembantu untuk mengambilkan Nafis
makan.
“Ayo maem, Ustadz suapi yaa.”
Tambahku cepat.
Lalu adegan berikutnya adalah Ayah
dan Bunda Nafis duduk di seberang ranjang menatapku menyuapi Nafis, yang
akhirnya mau makan. Sekilas aku menangkap getar cemburu di wajah mereka. Mereka
melewatkan momen penting dalam hidup Nafis pada orang asing sepertiku.
Setelah Nafis selesai makan dan
minum obat, aku diajak Ayah dan Bunda Nafis mengobrol di ruang tamu.
“Begini Ustadz, mohon maaf terus
terang saya bingung waktu Nafis menyebut-nyebut nama Ustadz Febri waktu
menangis.” Aku menyimak muqoddimah Bunda Nafis. “Terus saya Tanya Mba Mar,
katanya itu ustadznya Nafis yang pernah kesini. Jadi mohon maaf merepotkan saya
minta datang ke rumah.”
“Nggak papa Bunda, kebetulan sekali
saya pingin ketemu secara pribadi sama Ayah dan Bunda.”
“Ada apa Ustadz?”
“Begini, Mas Nafis ini ada gejala
disleksia.” Aku terdiam sebentar menunggu reaksi mereka. “Disleksia itu sindrom
kesulitan membaca dan mencerna perintah verbal.”
“Iya padahal sudah sering saya
ajari membaca bahkan saya datangkan guru privat.” Potong Ayah Nafis defensif.
“Bukaan… disleksia bukan berarti
anak malas belajar. Disleksia berhubungan dengan meneruskan kata-kata verbal
pada memori pada otak. Namun anak-anak disleksia tidak bisa mencerna bahasa dan
kata-kata baik secara lisan atau tulisan seperti anak non disleksia pada
umumnya, sehingga sering disalah artikan sebagai malas belajar dan bodoh.” Aku
menelan ludah, “Tanda-tandanya adalah kesulitan konsentrasi, tidak fokus, sulit
membaca dan mengurutkan sesuatu, tidak bisa membedakan atas, bawah, kiri,
kanan, sering terbalik saat berbicara.”
Aku menarik napas, sambil mengamati
ekspresi wajah Ayah dan Bunda Nafis yang masih tampak belum paham.
“Jadi… harus bagaimana Ustadz?”
Bunda Nafis bersuara.
“Jadi, sebaiknya mas Nafis dibawa
ke psikolog dulu untuk lebih jelasnya. Lalu berikutnya peran orang tua sangat
krusial di sini. Jadi tidak boleh dikatai ‘bodoh’ atau ‘malas’, didampingi
terus saja belajarnya dan sering dipeluk.” Aku tersenyum mengakhiri ceramah pas
pasanku.
“Mohon maaf Ustadz Febri ini sudah
berkeluarga atau…” Tanya Ayah Nafis tiba-tiba.
“Mmm… belum.” Aku tersenyum malu.
Aku satu-satunya pria dan berstatus single
di sekolah.
***
Aku menatap Zahra, Ahmad,Nafis dan
yang lainnya melingkar di koridor sekolah. Sudah lima bulan sejak aku bertemu
nafis pertama kali di ruang guru, dan sudah dua bulan sejak aku datang menemui
Ayah dan Bunda Nafis. Sekarang ia semakin pintar mengeja dan menyebutkan warna.
Semenjak orang tuanya mulai meluangkan waktu untuk menemaninya belajar di
rumah. Ia juga semakin akrab dengan teman-temannya. Kerap kali kulihat ia duduk
memimpin lingkaran seperti ini, lalu menalaqqi teman-temannya hapalan juz Amma.
Seperti halaqah orang dewasa saja.
Bel masuk berbunyi nyaring. Waktu
istirahat berakhir ditandai dengan sempurnanya matahari di atas kepala, dan panasnya
yang menyilaukan. Dengan enggan kutinggalkan pemandangan unik di depanku itu
dan seperti biasa aku berteriak di pinggir lapangan. Memanggil pernak-pernakku
masuk kelas.. Pernak-pernik yang tidak pernah berhenti berkilau meski tidak
disinari matahari. Yang setiap butirannya unik dengan orisinalitas
masing-masing. Tempaan lingkungan dan pengalaman hiduplah yang akan membentuk
kepribadian mereka yang sesungguhnya nanti. Yang membuatnya semakin berkilau,
atau pudar tak berharga. Aku hanya berharap para orang tua menyadari kilau pernak-pernik
ini dan mengerti cara memolesnya agar semakin kinclong. Seperti beberapa manic-manikku yang sedang melingkar di
sana.